Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Transformasi Sang Professor

Beberapa saat yang lalu, saya terkesan dengan testimoni salah seorang senior dari Kalimantan Timur, dokter Atjo Adhmart Sp.OG, tentang Prof. Irawan Yusuf. Saya jadi ingin menulis-nulis tentangnya. Saat itu beliau ketua BPM semacam badan legislatif lembaga kemahasiswaan, berdua dengan kak Marhaen Hardjo (Sekarang Kabag Biokimia FKUH), ketika itu ketua senat mahasiswa, sedang memperjuangkan agar mahasiswa yang terancam DO diberikan kesempatan untuk bimbingan khusus. Jumlahnya banyak sekali. Dan salah satu bagian yang paling banyak tidak lulusnya adalah Faal.

Saat bagian lain sudah memberikan lampu hijau untuk memberikan satu lagi kesempatan, maka Faal adalah ujian yang paling berat. Mereka juga agak khawatir untuk langsung ketemu kepala bagian yang mungkin saat itu terkenal agak “stricht”. Tapi sebelum ketemu dengan kepala bagian, PD 1 saat itu, Prof. Syarifuddin Wahid menyarankan mereka untuk ketemu terlebih dahulu dengan dokter Irawan yang saat itu baru pulang sekolah dari Jepang. Saat mereka menghadap beliau, pertanyaan pertama yang ditanyakan, “Apa yang saya bisa bantu?”. Setelah menjelaskan apa maksud kedatangan mereka, dokter Irawan langsung mengatakan, “Baik, kalian tidak usah menghadap dr. Haris Siregar (Kepala bagian Faal ketika itu), biar saya yang akan bicara dengan beliau. Dan saya sendiri yang akan membimbing teman-teman kalian hingga lulus”. Wah ini keren ya.

Doi, begitu nama panggilan akrab kita untuk beliau. Saya pertama mengenalnya saat masih mahasiswa semester tiga, saat itu ada seorang dosen yang tak biasa, jarang terlihat. Tapi kok begitu akrab dengan banyak senior, ngobrol santai dengan mereka di koridor di depan kantor senat mahasiswa, saat itu masih di samping kantor Faal. Seolah tak berjarak sama sekali. Dan tampilannya saat itu agak eksentrik untuk ukuran kami mahasiswa semester awal yang selalu diminta menggunakan celana kain. Beliau datang mengajar dengan menggunakan jeans dan tas "back pack". Bahkan sempat sambil bercanda beliau mengejek kami, apa coba hubungan antara keharusan memakai celana kain dengan isi kepala kalian. Hahaha.

Saya masih ingat saat itu beliau mengajar fisiologi sistem kardiovaskuler. Banyak yang terpesona dengan kuliahnya, di dalamnya diselipkan sekilas tentang biologi molekuler sistem kardiovaskular. Wah ilmu yang zaman itu rasanya terasa sangat canggih untuk seorang mahasiswa kedokteran. Kebetulan beliau dulu lebih banyak aktif di lembaga Biologi molekuler Eijkman ketimbang di fakultas. Dan saya kira kekaguman terbesar kita adalah pemikiran-pemikirannya yang anti mainstream. Soal celana diatas adalah salah satu contoh kecil saja.

Namun bagi yang pernah berinteraksi dengan beliau dan merasakan keakraban dengannya, pasti tidak mengira bahwa untuk sampai serupa itu, ada proses yang harus terlebih dahulu beliau lalui. Dulu saat mahasiswa dan koas, katanya dia ganasnya minta ampun sebagai asisten Faal. Kalau saya pernah menulis-nulis tentang dua asisten Faal yang "agak galak” sebelumnya, itu mungkin tidak ada apa-apanya dibanding beliau. Makian, intimidasi termasuk merobek-robek laporan praktikan karena kesalahan kecil adalah hal yang lumrah. Pokoknya hororlah saat beliau ada, bahkan jika praktikan tak berbuat kesalahan sekalipun. Mau saja. Hal yang sama berlanjut saat beliau jadi dosen muda Faal. Pokoknya Faal katanya dulu saing-saingan dengan Anatomi, kalau di Anatomi sedikit yang lulus, maka di Faal harus lebih sedikit lagi. Hehehe. Makanya seperti cerita dr. Atjo diatas, Faal adalah salah satu bagian yang paling susah dilulusi.

Hingga akhirnya beliau mendapatkan kesempatan sekolah Ph.D ke Jepang, Hiroshima University. Ada yang berbeda katanya saat dia belajar di tempat ini. Dia mendapatkan perlakuan yang sangat baik dari orang-orang di sekitarnya. Sensei dan kawan selabnya memberi bantuan yang tulus. Mereka tak pernah memaki saat dia melakukan kesalahan yang mungkin tak seharusnya dilakukan oleh seorang mahasiswa doktoral.

Beliau selalu mendengarkan orang mengucapkan terima kasih bahkan untuk bantuan sekecil apa pun. Dan kerja keras, betapa itu sangat dihargai disini. Selama 4 tahun Ph.D-nya dengan melakukan eksperimen melelahkan pada kodok selama berjam-jam setiap harinya, katanya data bagus untuk dipublikasi hanya sekitar 20-an dari entah berapa ratus mungkin ribu percobaan yang sempat beliau lakukan. Tapi dalam proses itu, senseinya tak pernah menjatuhkan, meremehkan atau mencelanya, malah tetap percaya dan terus mendorongnya. Beliau akhirnya belajar apa yang disebut “respect”.

Saking kagumnya beliau atas penghormatan orang Jepang ini, di “animal house” kampusnya, katanya ada satu hari dimana para peneliti membuat upacara, berdoa dan memberikan penghormatan pada arwah hewan coba yang mati karena eksperimen-eksperimen yang mereka lakukan. Hewan-hewan itu telah berjasa memberi hidupnya untuk ilmu pengetahuan. Gila, pada hewan yang telah mati saja mereka memberi penghormatan sedemikian rupa, apalagi pada yang manusia yang hidup. Dan Prof, setelah dari Hiroshima, katanya menjadi tidak sama lagi. Mengapa harus mengajar, memperlakukan orang dengan kasar jika kita bisa mengajar mereka dengan penuh kasih sayang dan memberikan penghormatan yang pantas. Dan itu katanya pelajaran terbesar yang dibawanya pulang ke Indonesia.

Saya kira kisah beliau ini adalah juga pelajaran bagus bagi kita yang berprofesi sebagai “guru”, termasuk yang mengajari para mahasiswa di kampus maupun rumah sakit. Juga pada para senior pada adik-adiknya. Kata beliau, kalau saat sekolah kita diperlakukan dengan baik, mari juga melakukan hal itu pada anak didik, pada adik-adik kita. Jika kita diperlakukan buruk, mungkin eloknya kita tidak mengingat bagian buruknya, dan jangan malah “balas dendam” memperlakukan mahasiswa kita lebih buruk lagi. Ada dua hal yang akan selalu diingat orang lain pada diri kita sambungnya, kebaikan dan juga keburukan kita. Dan saya kira semua paham bagaimana perbedaan orang mengingat keduanya.

Apa yang kita rasakan sekarang di fakultas sedikit banyak juga berasal dari sumbangsih beliau dan guru-guru lainnya untuk terus mendorong tumbuhnya kultur akademis lebih baik di kampus kita tercinta. Ya karena tidak selalu sesuatu, bahkan ketika itu disebut kultur, budaya, harus tetap dipertahankan ada jika didalamnya ada sesuatu yang buruk seperti kekerasan baik itu fisik maupun psikis. Bukan masanya lagi hal serupa itu ada dalam dunia pendidikan kita.

Ah, terima kasih banyak dokter Atjo atas ceritanya. Mungkin kisahnya akan berbeda ya jika Prof tidak sekolah dulu ke Jepang. Hehehe. Dan terima kasih juga untuk Prof. Irawan sendiri yang tak pernah berhenti memberi kita pelajaran hidup yang baik. Tetap sehat Prof.