Kali ini saya akan bercerita tentang salah seorang senior yang saya kira setiap dokter di Indonesia pasti mengenalnya. Adakah yang tidak mengenal dr. Zaenal Abidin? Wah kalau ada yang sampai tidak mengenal beliau rasanya keterlaluan sekali. Apalagi kalau dokter atau mahasiswa kedokteran dari Unhas. Beliau senior kita, alumni UNHAS (saya lupa angkatan berapa), menjabat ketua umum PB IDI periode yang lalu.
Saya mengenal beliau pertama kali tidak sengaja saat saya mahasiswa dan dulu sering ke Jakarta ikut acara-acara kemahasiswaan. Kegiatan yang membuat saya harus menyelesaikan sekolah lebih dari 7 tahun. Nah pada suatu ketika saat hendak pulang, saya tidak punya ongkos untuk membeli tiket kapal laut. Tiket pesawat masih sangat mahal saat itu. Terus ada yang bilang coba ke Kak Enal di IDI. Saya datangilah beliau, memperkenalkan diri sebagai yunior dari Makassar. Memasang muka memelas. Akhirnya dapat tiket Pelni. Selain itu bisa nginap dan makan gratis juga di rumah beliau. Kelakuan mahasiswa. Hehehe.
Saat berjumpa kak Enal dan istrinya pertama kali itu, saya sempat mengajukan pertanyaan goblok. “Kak apakah kita masih punya keinginan kembali ke Makassar?”. Sesaat beliau terdiam, lalu menjawab, "Kayaknya tidak dek, perahu untuk pulang telah kami bakar". Lama saya baru paham maksudnya, apa ini kok ada perahu dibakar-bakar. Ternyata ungkapan ini untuk menegaskan bahwa ketika anda berani keluar dari kampung , jangan sekali-sekali pulang jika anda belum menjadi apa-apa. Ungkapan yang sangat "Bugis" sekali.
Setelah itu setiap ke Jakarta saya selalu sempatkan menemui mereka. Mereka memperlakukan kami sungguh sebagai adik-adiknya yang tidak boleh dibiarkan terlantar. Ya, karena kami pernah belajar di fakultas yang sama, dan secara khusus terlibat di organisasi kemahasiwaan yang sama. Dulu saya masih ingat, tinggal pun mereka masih kost-kostan. Itu pun masih pindah-pindah di sekitar Pondok Gede dan Bekasi. Dan ajaibnya mereka masih bisa menerima tamu. Berapa pun adek-adeknya, mahasiswa yang datang pasti selalu diterima dengan tangan terbuka. Adek kak Enal ini banyak sekali loh, tidak hanya anak kedokteran, darimana-mana bukan cuma Unhas. Kalau dulu kita menginap, biasanya dikasih tikar, karena memang di rumah itu cuma ada satu kasur saja, untuk tuan rumah. Hahahaha.
Dan kini, beliau telah menjadi tokoh nasional, pernah menjadi sekjen lalu ketua umum sebuah organisasi yang sedikit banyak menentukan hajat hidup kita, para dokter di republik ini, IDI. Banyak hal- hal besar yang telah diraihnya dalam hidup. Transformasi seperti ini bukan sesuatu yang sifatnya sesaat. Dibutuhkan waktu dan juga stamina panjang untuk bertahan dalam dunia keras seperti Jakarta. "Membakar kapal untuk pulang", semakin menegaskan bahwa ada saat dimana perjuangan dalam hidup adalah sebuah pertaruhan kehormatan. Ya atau tidak sama sekali.
Ada satu petuah yang selalu melekat dan tak bosan beliau ulang-ulang, kapal itu dibuat bukan untuk disimpan di pantai. Tentu saja kapal yang ditaruh di pantai akan aman tak akan rusak sama sekali. Tapi bukan untuk itu kapal dibuat. Ia dibuat untuk mengarungi lautan luas seberapa besar pun ombak dan badai yang mungkin ada di hadapan. Petuah ini sejatinya ingin mengajarkan satu hal pada kita semua khususnya yang mengaku mahasiswa atau alumni terutama dari kedokteran Unhas. “Jangan laloko mengaku anak Unhas kalau kau ballorang”. Ballorang, penakut dalam bahasa Makassar. Kita tidak pernah diajarkan untuk jadi penakut menghadapi hidup seberapa pun kerasnya. Dan itu telah beliau buktikan dengan kata-kata dan menjadi contoh hidup bagi kita adik-adiknya.
Nah kalau ada yang lagi merantau diluar sana atau mungkin sedang sekolah lagi, mari sama-sama kita bakar kapal kita untuk pulang. Jangan pernah pulang tanpa menjadi “sesuatu”, tanpa menjadi apa-apa. Karena kalau itu terjadi pasti akan sangat memalukan sekali, masak ada alumni kedokteran Unhas buang handuk sebelum bertarung sampai mati.
Dan satu lagi, nasihat penting untuk adik-adik yang mau pergi ke suatu tempat, mulai sekarang jangan takut. Hal pertama yang harus kalian lakukan adalah cari tahu siapa alumni disana. Pasti mereka akan malu membiarkan kalian terlantar tanpa mendapat bantuan, ya seperti Kak Enal ini. Bagaimana kakak-kakak alumni yang lain? Saya punya satu pengalaman saat dulu sering bepergian dengan kapal Pelni, hal pertama yang saya cari tahu adalah siapa dokter kapalnya. Pernah dalam perjalanan dari Tanjung Priok ke Makassar, test-test ke klinik, eh dokternya kak Hamrullah, teman main bola saat mahasiswa, sekarang spesialis saraf. Jadilah saya disuruh tidur di kamar dokter, mandi dan makan disana, padahal tiket yang saya pegang tiket ekonomi dan sebelumnya rencana tidur di geladak.
Salam hormat untuk semua senior yang telah menjadi guru dan contoh yang baik kita semua. Beruntung kita punya banyak referensi yang baik seperti ini.