Beberapa bulan yang lalu saya dan sepasang suami istri dosen keperawatan UNHAS mendapat kunjungan dari seorang guru yang istimewa, Prof. Dali Amiruddin. Beliau konsulen penyakit kulit dan kelamin serta mantan ketua departemen itu di Fakultas Kedokteran UNHAS beberapa periode. Mengisi masa pensiunnya, satu hal yang sering dilakukannya adalah travelling dengan istri dan juga cucu tercinta.
Kali ini, beliau mendapatkan kesempatan mengunjungi kami di Kanazawa, nginap di rumah pasangan kawan itu. Saya datang melapor pada malam harinya. Tadinya beliau tidak mengenal saya, tapi saat saya bilang, saya dulu yang sering datang ke tempat praktek prof, malam-malam minta sumbangan untuk Bastra HMI. "Ahh, kau Pale' ". Kebetulan beliau juga alumni HMI dan dulu sempat mengurusi klinik HMI yang cukup besar pada zamannya. Dan sepanjang malam itu, larutlah kami dalam obrolan hangat tanpa henti. (Padahal dulu saya takut-takut sama beliau eh. Hehehe)
Nah, ada satu cerita menarik dari beliau terkait poliklinik HMI dulu. Poliklinik HMI di zamannya adalah salah satu klinik yang ramai di Makassar. Pasiennya sangat banyak karena biayanya murah. Bahkan dari sana pun mereka bisa menyisihkan uang untuk membeli tanah yang cukup luas di Tala'salapang, dekat kampus Unismuh Makassar yang sekarang sudah diserahkan ke PB HMI. Katanya untuk dibangun rumah sakit ya?
Dulu klinik HMI tempatnya di sekitar mesjid raya. Tapi karena suatu hal mereka disuruh keluar dari sana. Pihak mesjid ingin membuat klinik sendiri. Untungnya ada seorang ibu yang mau menampung mereka, memberi mereka tempat di rumahnya secara gratis untuk jadi pindahan klinik tersebut, kalau tidak salah di Jl. Lamuru, Makassar. Mereka dianggap anak bahkan diberi makan gratis oleh keluarga itu.
Luar biasanya keluarga itu adalah keluarga kristen dari Toraja, orang tua dari dr. Andarias Mangali, nantinya jadi dosen Parasitologi FKUH. Bahkan dokter Andarias juga sempat bekerja disana. Tidak menyangka ya dr. Andarias senior HMI juga. Hahahaha. Tapi menarik bagaimana para senior ini mengajarkan toleransi dari zamannya.
Masih tentang cerita Prof. Dali Amiruddin lagi ya, ini saya dapatkan ceritanya dari Prof. Irawan suatu ketika. Prof. Dali, beliau ini salah satu professor di kedokteran yang suka sekali menggunakan bahasa bugis. Bahkan saat ketemu itu pun beliau selalu memakai bahasa bugis dengan logat Rappang yang khas pada saya. Walaupun saya lahir di Pinrang, cuma sedikit tahu kata dalam bahasa Bugis. Untungnya ada senior orang Pinrang juga tadi malam yang bisa jadi translator.
Alkisah, beliau suatu ketika pernah datang ke Jepang berkunjung ke tempat seorang senior yang juga sementara sekolah disini, saya lupa namanya. Di stasiun kedatangan, penjemputnya bingung tidak juga menemukan beliau. Prof pun bingung tidak menemukan penjemputnya. Akhirnya beliau ke bagian informasi di stasiun itu.
Masalahnya, beliau tidak bisa bahasa Jepang dan bahasa inggrisnya pun saat itu masih patah-patah. Mbak-mbak Jepang di informasi bingung, beliau pun katanya jadi lebih bingung. Akhirnya daripada lama dia mengambil speaker dan bicara di sana, "Kega ko.... (saya lupa nama senior itu), engka na mae iyolona informasi". Bayangkan di stasiun Jepang tiba-tiba ada pengumuman dalam bahasa yang aneh. Orang banyak berhenti, mungkin mereka mikir itu tadi maksudnya apa ya. Tapi efektif, penjemputnya yang kebetulan orang bugis langsung tahu, ah itu dr. Dali.
Tapi saya kagum dengan beliau, masih menyempatkan diri mengunjungi kita murid-muridnya yang lagi sekolah jauh. Semoga tetap sehat Prof dan bisa mengunjungi kami suatu saat nanti. Amin.
Kali ini, beliau mendapatkan kesempatan mengunjungi kami di Kanazawa, nginap di rumah pasangan kawan itu. Saya datang melapor pada malam harinya. Tadinya beliau tidak mengenal saya, tapi saat saya bilang, saya dulu yang sering datang ke tempat praktek prof, malam-malam minta sumbangan untuk Bastra HMI. "Ahh, kau Pale' ". Kebetulan beliau juga alumni HMI dan dulu sempat mengurusi klinik HMI yang cukup besar pada zamannya. Dan sepanjang malam itu, larutlah kami dalam obrolan hangat tanpa henti. (Padahal dulu saya takut-takut sama beliau eh. Hehehe)
Nah, ada satu cerita menarik dari beliau terkait poliklinik HMI dulu. Poliklinik HMI di zamannya adalah salah satu klinik yang ramai di Makassar. Pasiennya sangat banyak karena biayanya murah. Bahkan dari sana pun mereka bisa menyisihkan uang untuk membeli tanah yang cukup luas di Tala'salapang, dekat kampus Unismuh Makassar yang sekarang sudah diserahkan ke PB HMI. Katanya untuk dibangun rumah sakit ya?
Dulu klinik HMI tempatnya di sekitar mesjid raya. Tapi karena suatu hal mereka disuruh keluar dari sana. Pihak mesjid ingin membuat klinik sendiri. Untungnya ada seorang ibu yang mau menampung mereka, memberi mereka tempat di rumahnya secara gratis untuk jadi pindahan klinik tersebut, kalau tidak salah di Jl. Lamuru, Makassar. Mereka dianggap anak bahkan diberi makan gratis oleh keluarga itu.
Luar biasanya keluarga itu adalah keluarga kristen dari Toraja, orang tua dari dr. Andarias Mangali, nantinya jadi dosen Parasitologi FKUH. Bahkan dokter Andarias juga sempat bekerja disana. Tidak menyangka ya dr. Andarias senior HMI juga. Hahahaha. Tapi menarik bagaimana para senior ini mengajarkan toleransi dari zamannya.
Masih tentang cerita Prof. Dali Amiruddin lagi ya, ini saya dapatkan ceritanya dari Prof. Irawan suatu ketika. Prof. Dali, beliau ini salah satu professor di kedokteran yang suka sekali menggunakan bahasa bugis. Bahkan saat ketemu itu pun beliau selalu memakai bahasa bugis dengan logat Rappang yang khas pada saya. Walaupun saya lahir di Pinrang, cuma sedikit tahu kata dalam bahasa Bugis. Untungnya ada senior orang Pinrang juga tadi malam yang bisa jadi translator.
Alkisah, beliau suatu ketika pernah datang ke Jepang berkunjung ke tempat seorang senior yang juga sementara sekolah disini, saya lupa namanya. Di stasiun kedatangan, penjemputnya bingung tidak juga menemukan beliau. Prof pun bingung tidak menemukan penjemputnya. Akhirnya beliau ke bagian informasi di stasiun itu.
Masalahnya, beliau tidak bisa bahasa Jepang dan bahasa inggrisnya pun saat itu masih patah-patah. Mbak-mbak Jepang di informasi bingung, beliau pun katanya jadi lebih bingung. Akhirnya daripada lama dia mengambil speaker dan bicara di sana, "Kega ko.... (saya lupa nama senior itu), engka na mae iyolona informasi". Bayangkan di stasiun Jepang tiba-tiba ada pengumuman dalam bahasa yang aneh. Orang banyak berhenti, mungkin mereka mikir itu tadi maksudnya apa ya. Tapi efektif, penjemputnya yang kebetulan orang bugis langsung tahu, ah itu dr. Dali.
Tapi saya kagum dengan beliau, masih menyempatkan diri mengunjungi kita murid-muridnya yang lagi sekolah jauh. Semoga tetap sehat Prof dan bisa mengunjungi kami suatu saat nanti. Amin.