Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Dokter Itu, Sekumpulan Orang Aneh

"Prinsip mendasar dari Ilmu kedokteran adalah cinta" 〜Paracelsus (1493-1541)

Pada para dokter, kita harus takjub dan kasihan pada saat yang sama. Saya mengutip kata-kata ini secara bebas dari novel "Doctors" , Erich Segal. Novel yang membuat saya jatuh cinta, atau setidaknya telah belajar mencintai profesi ini lebih lagi. Novel yang telah dicetak ulang dengan sampul putih abu yang sangat elegan. Di sampulnya, seorang berjas putih separuh badan melangkah di koridor dan disana sebuah brankar tergeletak.

Saya ingat pertama kali menemukan novel ini diantara tumpukan buku-buku di bilik kecil Sinovia, lantai tiga, depan laboratorium faal pada tahun-tahun pertama saya masuk kedokteran UNHAS. Novel yang saat itu masih bersampul hijau dengan kertas-kertasnya yang sudah teramat kusam. Saya begitu terpukau. Membacanya saya jadi mengerti banyak sisi-sisi lain kehidupan para mahasiswa kedokteran dan dokter di tempat lain, disebuah tempat yang bernama "Harvard Medical School" puluhan tahun silam. Ada banyak hal-hal luar biasa dikisahkan disana, tentang integritas, pengabdian dan cinta. Tak luput pula sisi-sisi remang kehidupan para dokter dipotret, ada intrik, konflik, juga penghianatan. Ya, karena seorang dokter pun pada akhirnya adalah juga seorang manusia biasa.

Mengapa kita harus takjub pada mereka? Kata novel ini, mereka sesungguhnya adalah sekelompok orang aneh yang mau mengorbankan dirinya untuk orang lain. Melewatkan sebagian besar musim semi dalam kehidupannya untuk mempelajari ilmu dan pengetahuan pengobatan agar kehidupan bisa tetap dirawat. Banyak dari mereka harus melupakan kesenangan-kesenangan masa muda , bergulat tanpa akhir dengan penyakit , penderitaan juga kematian. Mencari jawaban-jawaban tanpa henti pada tumpukan buku tebal, jurnal-jurnal ilmiah yang berserakan, tabung-tabung eksprimen juga lewat interaksi setiap saat dengan si sakit. Tumpukan pengetahuan dan pengalaman itulah yang pada akhirnya mengajarkan bahwa "kehidupan" sungguh berharga, olehnya ia layak diperjuangkan agar tetap ada.

Pendidikan kedokteran sungguh adalah pendikan yang sangat spartan. Maaf, kalau saya mengatakan bahwa ia tidaklah semacam kursus singkat, atau seperti banyak yang kita lakukan sekarang, belajar dari Wikipedia atau Google. Ketika orang sudah tahu apa itu demam, terus tahu obat panas dan antibiotik, maka mereka tidaklah telah otomatis menjadi dokter. Tidak juga karena mereka lalu lalang memakai jas dari bahan kain paling putih, bersisir rapi dengan kaca mata minus di ujung hidung, lalu stetoskop paling mahal melingkar di leher dan seketika mereka sudah menjadi dokter yang baik.

Seorang dokter bukanlah montir tanpa hati dan manusia yang dirawat dan berusaha disembuhkannya bukanlah mesin. Manusia yang mereka hadapi tidak hanya terdiri atas otot, tulang, organ, jaringan, arteri, nervus, vena dan lainnya. Tapi pada kedalaman diri orang-orang itu, ada juga jiwa-jiwa yang selalu rindu untuk disentuh dengan senyum dan kata-kata yang penuh empati. Belajar menjadi seperti itu namun tetap kuat. Tidaklah mudah.

Disini juga mereka diajar untuk tak boleh sedikit pun membuat kesalahan karena mereka tahu mungkin suatu ketika mereka akan berada di garis batas antara hidup dan mati seseorang. Dan kesalahan sekecil apa pun itu bisa berarti hidup seseorang akan berhenti walaupun mungkin belum saatnya.

Oleh karenanya para dokter kadang nampak sebagai orang yang paling paradoks di muka bumi. Demi kesempurnaan mereka sungguh telah mengorbankan tubuh juga jiwanya. Coba ingat-ingat, dari siapa biasanya anda mendapatkan nasehat tentang keharusan makan yang baik dan bergizi, olahraga, istirahat yang cukup? Dari para dokter kan. Tapi cobalah sesekali berkunjung ke rumah sakit dan melihat-lihat bagaimana para calon dokter juga dokter spesialis itu belajar dan dididik. Anda akan mendapatkan wajah-wajah yang mungkin kelelahan. Ada bahkan yang dalam hitungan waktu 24 jam belum pernah memejamkan mata sama sekali.

Disana berlaku anekdot bahwa untuk survive mereka harus bisa belajar tidur sambil berdiri dan berjalan. Mereka harus setiap saat bisa terjaga, melawan kehendak dirinya. Saya ingat saat masih koas dulu, mungkin juga kawan-kawan lain juga masih ingat. Ada saat dimana kita harus mengobservasi pasien setiap 15 menit sepanjang hari, sepanjang malam. Sebuah tugas melelahkan namun pada hal semacam itu sesungguhnya kita sedang belajar dan diajar betapa pentingnya menjaga kehidupan.

Atau pada ibu-ibu yang akan melahirkan, diobservasi sepanjang saat. Terus dipantau kemajuan, penyulitnya. Makan dan tidur tak lagi dihiraukan. Dan ketika sang bayi berhasil dibantu persalinannya, seluruh penat itu serasa hilang oleh tangisan si bayi. Bahagia rasanya telah melahirkan sebuah kehidupan baru di bumi lewat bantuan tangan kita.

Setelah menjadi dokter, bebannya pun tak malah berkurang. Di pulau tempat istri saya PTT, dia pernah "KO" dihajar malaria. Ia cuma satu-satunya dokter di kecamatan itu. Kadang ia bercerita tentang pasien-pasien rawat inap yang kadang tak kunjung berhenti datangnya di puskesmas. Tak kenal waktu, pagi , siang, sore, malam, subuh. Mulai dari malaria, anak-anak yang kena diare, ibu-ibu yang mau melahirkan, atau anak muda mabuk yang menabrak truk yang terparkir dan dibawa ke puskesmas dalam keadaan berlumuran darah dan tak sadar. Melelahkan membayangkannya.

Mungkin kawan-kawan dokter di perifer sering mendapatkan kondisi yang sama. Saya membayangkan betapa beratnya tekanan yang dihadapi oleh para dokter dalam kondisi semacam itu. Dokter memang bukan Tuhan, tapi kadang-kadang orang meletakkaan keselamatan sanak keluarga mereka, entah istri, anak, ibu, ayah atau saudara ditangan sang dokter lebih dari kepada yang lain. Dan bukan manusia jika dalam tekanan seberat ini kadang-kadang para dokter itu merasa sedih luar biasa dan merasa gagal saat sang pasien akhirnya meninggal walaupun telah diberikan pertolongan begitu rupa. Saya ingat Istri saya suatu ketika pernah menelepon sambil menangis, pasiennya seorang ibu yang menderita preeklampsia, dirujuknya dengan kapal kayu ke kota Luwuk, namun malang sang ibu meninggal sesaat setelah sampai di pelabuhan. Ia sangat berduka.

Namun diantara segala ketakjuban itu terbersit juga rasa kasihan, banyak dari mereka seolah lupa bahwa mereka juga punya kehidupan. Kisah novel ini, kadang-kadang mereka tak ingat lagi dengan kehidupan pribadi, kehidupannya sendiri. Terlambat berkeluarga atau tak sempat sama sekali. Tak punya waktu melihat bagaimana anak-anak mereka tumbuh. Disaat orang-orang di profesi lain pada umur yang sama sudah menjalani siklus hidup yang stabil, para dokter itu masih harus belajar lagi bertahun-tahun. Mmmmh, pengorbanan mahal yang harus dibayar oleh orang-orang yang dipanggil oleh profesi ini.

Akhirnya, saya menulis-nulis ini sebagai apresiasi. Banyak berita-berita miring yang kadang beredar di luar sana tentang profesi kita. Tapi saya pikir itu justeru akan menguatkan. Ini coretan-coretan lama yang saya temukan kembali lagi dan maaf sekali lagi jika saya mempostingnya. Selamat bekerja dan mengabdi untuk kemanusiaan.