Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

"Tiger Moms", Ibu Hebat nan Galak

Salah satu buku kontroversial yang pernah saya baca saat pulang ke Sukabumi tahun kemarin adalah memoar seorang Ibu, Amy Chua. Memoar yang dikisahkan dalam buku “Battle Hymn of the Tiger Mother”, menceritakan bagaimana seorang ibu yang juga seorang wanita karier berjuang mendidik anak-anaknya di lingkungan yang sangat permisif, Amerika.

Mengapa kisah ini menarik, ya Amy Chua membesarkan anaknya dengan cara tak biasa seperti yang dilakukan ibu-ibu Amerika pada umumnya. Ia menggunakan pendekatan Cina yang sangat ketat. Dia memiliki dua orang putri, Sophia dan Lulu. Buku diatas adalah kisah nyata hidupnya bertarung untuk membesarkan putri-putrinya itu.

Suami Amy adalah seorang Amerika sementara dia sendiri adalah warga Amerika keturunan Cina. Buku ini pernah banyak diperbincangkan, diperdebatkan bahkan menjadi isyu nasional.Terutama saat ulasan tentangnya dimuat dalam Wall Street Journal dengan judul yang sangat provokatif "Why Chinese Mother are Superior?". Beragam reaksi bermunculan, sebagian besar tidak setuju, sinis dan menentang.

Bagaimana tidak, Amy menegakkan sejumlah aturan yang sangat keras terhadap anaknya yang tidak akan dijumpai dalam keluarga-keluarga Amerika. Memberlakukan banyak larangan pada sang putri, seperti tak boleh menginap di rumah temannya, tak boleh menonton TV dan bermain game, tak boleh ikut drama sekolah, tak boleh memilih ekstrakurikuler mereka sendiri, tak boleh mendapatkan nilai kurang dari A dan lainnya. Membaca bukunya, awalnya saya merasa, seram juga ibu ini. Di zaman dimana sang anak kata para psikolog dan konsultan pendidikan anak harus lebih banyak diberikan kebebasan agar kreativitasnya tumbuh, tapi Amy tak bergeming, ia tetap dengan metodenya.

Amy Chua sendiri adalah seorang putri imigran asal Cina yang datang ke Amerika, saat mereka datang kenangnya, mereka sama sekali tak punya uang, tak punya apa-apa. Begitu miskinnya hingga dua bulan pertama hidup mereka di Boston, mereka sama sekali tak mampu membayar penghangat ruangan pada saat musim dingin. Ayah ibunya pindah ke Amerika, karena menganggap bahwa negara itu adalah tanah baru yang menjanjikan banyak harapan.

Sejak kecil orang tuanya pun mendidiknya dengan sangat keras, belajar piano, les matematika, larangan tak boleh punya pacar dan sejumlah aturan ketat lainnya. Melanggar, hukumannya sangat berat. Ia harus jadi orang berhasil, itu mimpi orang tuanya. Dan itu terjadi, kini dia adalah seorang pengajar di “Yale Law School”. Belajar dari pengalaman bagaimana dia dididik sejak masa kecil maka ia pun mendidik anaknya dengan cara bagaimana ia dibesarkan.

Mudahkah? Pada puteri pertamanya tidak ada masalah, tetapi saat model yang sama diterapkan pada putri keduanya Lulu, ia pun mulai mendapat penentangan. Hingga akhirnya hal itu juga membuatnya belajar, mendidik anak butuh keseimbangan, ada beberapa hal yang secara prinsipil tak bisa dinegosiasikan namun ada saat dimana kita harus mulai mendengar mereka. Untungnya sang suaminya yang memberi keseimbangan itu dalam kehidupan anaknya tanpa menentang cara Amy mendidik mereka.

Saya suka satu kutipan dalam artikel ini yang diucapkan oleh Amy, “Kadang kita harus dibenci seseorang yang kita kasihi...”. mungkin ia ingin mengatakan betapa berat awalnya ia menerima model didikan orang tuanya yang sangat keras. Saya bayangkan dia, juga anak keduanya, remaja Amerika yang tumbuh dalam kultur demokrasi dan kebebasan yang begitu masif hingga banyak hal menjadi serba boleh, dan kini mereka diperhadapkan dengan seperangkat aturan yang sebagian besar tidak boleh. Tidak segala hal yang diinginkan oleh seorang anak harus dituruti, pada fase tertentu katanya, kita orang dewasa yang lebih tahu apa yang terbaik bagi mereka.

Ada sebuah kisah tentang Amy yang menarik, tentang les piano anaknya. Betapa ia begitu keras tentang ini. Dia terus menunggui anaknya, bahkan ketika saat sang anak sudah bosan, ingin berhenti dan bahkan menangis untuk itu. Amy berkeras, tak bergeming, pokoknya anaknya harus terus berlatih. Dia pun memasang wajah datar setiap kali putrinya ingin berhenti. Dan akhirnya sang putri bisa dengan sangat baik memainkan resital piano pada sebuah pertunjukkan pada umur yang sangat muda. Orang tua murid lain sangat kagum, mereka mengucapkan selamat untuk sang anak dan juga ibunya. Kata Amy, mereka tidak tahu saja bagaimana proses yang dilalui putrinya itu untuk sampai kesana.

Memoar Amy Chua, awalnya mendapat cercaan dari mana-mana, namun ada beberapa orang yang setelah membacanya berubah menjadi simpati dan menulis testimoni. Seandainya orang tua mereka lebih keras pada saat mereka masih muda. Lebih keras meminta mereka belajar hal-hal yang bisa membuat hidup mereka nanti lebih mudah. Lebih keras menyuruh mereka berdisplin mempelajari hal-hal yang mereka kini tak tahu sama sekali. Ini mungkin serupa penyesalan seorang teman saya dari bali yang tak bisa menari, kenapa ya dulu katanya dia tidak cukup disiplin saat ibunya memaksanya ikut les menari.

Entah mengapa rasanya saya sepaham dengan dengan Amy Chua untuk beberapa hal, teringat dulu ibu saya saat SD menjelang malam selalu menunggui saya belajar matematika, setiap malam. Kalau salah siap-siaplah tangan saya diketok dengan pensil, tak boleh dapat matematika kurang dari 9. Jadi dapat kurang dari itu disembunyikan, walau akhirnya ketahuan juga dan mendapat hukuman. Hahahaha.

Dan kini itu juga yang kami praktekkan pada anak-anak, setiap malam harus belajar, ada tidak ada pekerjaan rumah. Ngumpul di meja ruang tengah. Mereka akan dapat hukuman saat nilainya jelak dan reward saat dapat nilai bagus. Bermain game cuma boleh akhir pekan. Sama sekali haram hukumnya menyentuh tablet di hari sekolah.

Kita boleh sepakat atau tidak dengan Amy Chua ini, dengan caranya mendidik anaknya. Saya kemudian meng-goggle keluarga mereka di Internet. Keren, putrinya diterima di dua universitas bergengsi di Amerika, Harvard dan Yale University. Ah, sebuah kisah yang menarik.