Saya gembira saat tahu bahwa salah satu pembicara dalam kelas inspirasi, tepatnya berbagi kisah dari para senior kepada mahasiswa kedokteran bulan depan salah satunya adalah Prof. Syarifuddin Wahid. Siapa sih yang tidak mengenal beliau? Dengan rambut putihnya yang khas. Guru, orang tua yang setiap saat selalu membuka pintu untuk para mahasiswa, kapan pun itu, sejak dulu.
Zaman kami mahasiswa, ada beberapa senior yang selalu kami datangi untuk ngobrol, berkonsultasi tentang berbagai masalah yang menurut kami “penting dan genting”. Dinamika apa pun itu. Pada level negara, kampus maupun fakultas. Tahu kan dulu bagaimana kadang sebagian mahasiswa saat agak “lebay”, merasa segala hal harus diurusi dan jika tidak besok kampus, fakultas bahkan republik ini bisa bubar. Strateginya saat itu adalah minimal ada senior yang tahu kegelisahan kita para mahasiswa dan menyampaikannya ke senior yang lain yang tidak bisa diakses. Dan seorang guru yang mau mendengarkan bahkan hal-hal konyol sekalipun yang dipikirkan mahasiswa, tidak banyak.
Beliau adalah salah satu orang itu, bahkan terkadang sudah hampir jam 10 malam, kita diskusi di kampus, terus di ujung ada yang nyeletuk kayaknya kita harus ke Prof. Syarifuddin untuk menyampaikan hasil diskusi kita. Dari Tamalanrea ke Sunu. Jadi sering sekali malam-malam kita datangi rumah beliau. Beliau selalu menerima kita, apalagi kalau sudah menyebut dari BEM atau HMI. Mungkin kalau mendengar dua nama ini, ah apalagi kejadian besok ini.
Almarhum istri dan anaknya saat itu mungkin harus terbangun karena kedatangan kita. Membuatkan teh untuk beberapa mahasiswa kedokteran gila yang malam-malam bertamu hanya untuk membincangkan rencana demo dan lain sebagainya. Atau kadang cuma datang bertanya dan berharap ada “bocoran” tingkat tinggi terkait sesuatu yang sedang ramai berkembang di kampus. Diskusinya lama lagi, sudah jam 12 belum pada pulang-pulang, kacang dan kue dalam toples sudah pada hampir habis juga. Maafkan kami kak Femi. Hehehe. Dan itu terjadi bahkan ketika beliau sudah duduk sebagai wakil rektor Unhas.
Apa sih bagian terbaik saat berbincang dengan beliau? Pertama, kita didengarkan. Walaupun beliau tidak selalu sepakat dengan sudut pandang para mahasiswa. Namun cara tidak sepakatnya itu sungguh elegan, tidak pernah menjatuhkan bahkan membuat kita akhirnya belajar lagi bahwa ada beberapa hal yang keliru dalam cara pandang kita. Ya beliau dengan pengalaman hidupnya selalu punya kearifan dan pendekatan berbeda terhadap banyak hal. Dan dalam posisinya saat itu beliau punya banyak informasi yang tidak kita punya sebagai mahasiswa dan ketika itu disampaikan, cara pandang kita yang masih amatiran pun langsung berubah.
Kedua, beliau selalu bisa membuat segala hal yang rumit menjadi mudah dipahami. Beda ya dengan mahasiswa atau mungkin banyak orang terkadang malah sebaliknya, hal mudah dibuat rumit, dijelaskan dengan istilah-istilah yang sedapat mungkin orang tak mengerti, mungkin agar dicap intelek. Hahaha. Nah pada pernah kan ikut kuliah Imunologi beliau. Topik ini mungkin salah satu hal yang paling rumit di kedokteran. Membayangkan segala macam proses-proses abstrak yang terjadi dalam sistem kekebalan tubuh kita, waduh. Dan luar biasanya beliau selalu bisa membuatnya jadi mudah dengan begitu banyak analogi.
Satu lagi pengalaman yang tak terlupakan saat beliau masih jadi wakil rektor. Tawuran antar Fakultas di Unhas sudah sering terjadi saat itu terutama antara fakultas “itu” dan “itu”. Memalukan pastinya. Lapangan di depan perpustakaan pusat adalah salah satu medan pertempuran paling sengit dimana orang saling melempar batu dan kejar-kejaran, kadang dengan senjata tajam. Sebutannya jalur Gaza Unhas. Dan pernah suatu ketika mereka sudah mulai ramai, saling melempar batu. Tapi tak lama kemudian tiba-tiba kedua belah pihak berhenti, tak jadi melemparkan batu-batu yang sudah ada di tangannya. Kenapa? Karena diantara mereka ada sesesorang yang sudah berambut putih, meminta mereka untuk berhenti. Dan itu adalah Prof. Syarifuddin Wahid.
Gila ya prof kita ini. Hehehe. Tapi ya, beliau sangat dihormati, dicintai oleh tidak hanya mahasiswa kedokteran saya kira. Beliau adalah guru bagi banyak orang dari setiap zaman yang berbeda. Dan keberanian, kharisma serupa itu saya kira tak mudah ditemukan kecuali pada mereka yang tulus. Jadi sangat tepat beliau berbagi kisah di acara ini. Saya sendiri seandainya bisa, sangat ingin sekali datang dan ikut mendengarkan beliau berbicara lagi.
Ini kesempatan yang baik bagi adik-adik untuk menimba dan menyerap kebijaksanaan dari para senior seperti Prof. Syarifuddin Wahid. Sayangnya Prof. Husni Tanra tidak ada ya, kalau beliau ada pasti rame. Karena mereka berdua suka sekali saling bercanda dalam bahasa bugis yang khas jika berjumpa dalam satu forum. Hehehe. Jadi kangen dengan para guru ini, semoga mereka-mereka selalu diberi kesehatan dan terus bisa menginpirasi kita. Amin.
(Kanazawa, 40116)