Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Dokter-dokter Gila FKUH


Seberapa besar nyali anda sebagai seorang dokter? Mungkin ada yang akan dengan gagah berani bercerita tentang hidupnya di daerah sangat terpencil. Fasilitas sangat terbatas, gaji selalu terlambat. Sepertinya sangat penuh dengan derita. Namun adakah diantara teman-teman yang bekerja sebagai dokter saat ini dan setiap saat hidupnya begitu dekat dengan “maut” dalam arti yang sebenarnya?

Beberapa menit yang lalu saya ditelepon dr. Maisuri dari Makassar. Dia menanyakan, ada tidak alumni FKUH yang bekerja sebagai relawan internasional di daerah konflik, semacam dokter Medecine San Frontieres (MSF) atau "Doctors Without Borders" dalam bahasa Inggris. Panitia PIB dan reuni akbar ingin membuat kelas inspirasi untuk adik-adik mahasiswa tentang pilihan-pilihan karir dokter yang tidak mainstream. Ya, apa sih mimpi sebagian besar adik-adik mahasiswa kedokteran saat ini. Lulus, internship, PTT, kalau beruntung dan punya uang bisa lanjut spesialis, selebihnya mungkin kejar PNS, jadi dokter Puskesmas, beberapa mungkin di klinik, perusahaan dan lainnya.

Dan bekerja sebagai dokter relawan internasional, bagi saya bukan cuma pilihan non mainstream tapi pilihan “ekstrim”. Masih ingat bagaimana rumah sakit MSF di bom oleh drone tentara Amerika di Afganistan karena keliru disangka sarang teroris. Ada juga yang diculik dan dijadikan tawanan oleh para pemberontak. Atau rumah sakit MSF lainnya di Yaman yang kena bom pesawat tempur Saudi. Mungkin istilahnya “collateral damage” untuk menghaluskan kata pembunuhan. Beberapa tahun lalu ada juga dokter MSF yang diberondong AK-47 oleh seorang milisi di dekat klinik yang mereka gunakan untuk mengobati dan merawat para pengungsi di Somalia.

Sesaat setelah menerima telpon tersebut, saya langsung menghubungi dua adek dokter yang agak “gila” menurut saya karena mau mengabdikan hidupnya di tempat seperti itu. Dokter Husni Mubarak Zainal , saya lupa angkatannya '01 atau '02 ya, dan dokter Lukman Hakim Bauty angkatan ‘99. Jujur saya sangat mengidolakan kedua orang ini. Sesusah apa pun tempat kita bertugas sebagai dokter di Indonesia, setidaknya kawan-kawan tidak perlu khawatir akan ada bom yang nyasar, diculik, atau ada milisi mabuk yang bisa tiba-tiba memberondongkan peluru. Jangan dikatakan tentang ancaman penyakit mematikan. Saya kadang terenyuh saat melihat foto-foto kedua dokter ini disamping pasiennya yang terkulai layu karena kelaparan, malaria berat, ebola dan juga HIV AIDS, terutama dari Afrika. Belum yang terluka dan cacat kena bom, mortir atau tertembak.

Jika kita ingin mendefinisikan pengabdian total seorang dokter, pada merekalah yang paling pantas saya kira. Mereka menghabiskan masa-masa paling ranum dalam hidupnya ditempat-tempat paling ganas di muka bumi, Melihat penderitaan dan kejahatan kemanusiaan dalam wujudnya yang paling telanjang di Afganistan, Pakistan, Sierra Leone, Sudan Selatan, Liberia, Somalia dan lainnya. Sakit dan kematian terasa begitu akrab di tempat-tempat seperti ini. Mereka mengajarkan pada kita bahwa dokter sesungguhnya adalah anak-anak kemanusiaan yang harusnya bersedia mengabdikan dirinya pada "kemanusiaan" yang juga tanpa batas, entah itu ras, suku, agama bahkan batas geografi dan nasionalisme sekalipun.

Kalau anda pernah berjumpa dengan kedua orang ini, kebetulan dua-duanya adik-adik saya dulu di TBM dan HMI, anda tidak akan menyangka mereka punya nyali sebesar itu. Dokter Husni dan dokter Lukman, pembawaannya sangat halus, tidak banyak bicara, tidak eksplosif seperti kebanyakan dokter dari Makassar. Membayangkan mereka bisa hidup, mengabdi dan survive di tempat-tempat ekstrim seperti itu, dengan urat takut yang nampaknya sudah putus, sungguh luar biasa.

Nah, ini terutama untuk adik-adik yang baru selesai jadi dokter atau masih jadi mahasiswa kedokteran. Ini juga adalah salah satu pilihan yang menarik di masa depan. Tentu saja butuh nyali yang lebih untuk mengikuti jalan dan jejak sunyi kedua dokter ini. Tapi ya hidup cuma sekali menafasi kita. Dan terlalu sia-sia jika tak dibaktikan sebesar-besarnya untuk kehidupan dan kemanusiaan, apalagi sebagai dokter.

Saya tidak ingin berpanjang lebar lagi berkisah tentang mereka. Tanggal 21 Januari tahun depan, salah satu dari mereka akan berbicara dihadapan para mahasiswa tentang pengalamannya menjadi relawan internasional di daerah konflik. Sayang sekali dan rugi besar jika adik-adik tidak datang. Kalau pun waktunya nanti tidak cukup menurut kalian, culik dia untuk bercerita lebih banyak lagi, orang-orang “gila” seperti ini sangat langka ada dalam setiap generasi.

Sengaja saya tidak menampilkan foto mereka agar kalian penasaran yang mana sih orangnya. Ya agar kalian bisa datang nanti saat dia bercerita. Sekalian sebarkan informasi ini ya, tanggal 21 Januari nanti ada senior kita, dokter gila yang akan bicara di kampus. Hehehe. Detail informasinya, tunggu dari panitia PIB dan reuni. Sekali lagi terima kasih untuk dokter Husni atas kesediaannya, salam hormat dari saya yang tak pernah berhenti kagum pada kalian. Tetap sehat dan selamat saat bertugas. Amin.

(Kanazawa, 301215)