Kali ini saya ingin berkisah tentang
beberapa orang yang pernah jadi mahasiswa FKUH dan menurut saya luar biasa
dengan cara yang berbeda. Ini catatan lama namun entah mengapa saya ingin
menuliskannya kembali.
Kedokteran, mungkin sebagian besar orang
tua ingin anaknya masuk ke fakultas ini, menjadi dokter, walaupun mungkin sang
anak tidak berkehendak untuk itu. Mereka punya mimpi yang lain. Tapi itulah
orang tua, terkadang kasih sayangnya membuatnya merasa bahwa hanya pilihan
mereka yang terbaik buat sang putra–putri tercinta. Ada juga yang pilihan
sendiri namun setelah beberapa perkuliahan, beberapa semester akhirnya mereka
tahu ini bukan tempatnya.
Ada yang bisa beradaptasi, ada yang gagal.
Dari yang gagal itu banyak yang terpuruk, dorman disana namun ada juga yang
memilih untuk hengkang. Mereka tak ingin dikalahkan oleh nasib. Memilih
penghidupan yang lain dan saya kira itu lebih gagah dan jantan ketimbang terus
bertahan menekuni sesuatu yang sama sekali bukan pilihan hidupnya.
Saya mengenal beberapa orang yang akhirnya
memilih untuk berhenti. Dan bagi saya itu sungguh pilihan yang sangat berani.
Tak bisa membayangkan bagaimana ya wajah orang tuanya saat akhirnya ia
mengatakan akan berhenti. Pasti tak mudah. Seperti Farhan dalam film india yang
bagus, “3 Idiots”. Orang tuanya menabung setengah mati, rela hidup susah agar
anaknya jadi Insinyur. Dalam bayangan si bapak, Insinyur sinonim dengan masa
depan yang sudah pasti gemerlap. Tapi si anak tak pernah tertarik jadi
Insinyur. Dia tak pernah bahagia dengan itu, dia ingin menjadi seorang
fotografer. Mungkin tak akan sekaya kebanyakan para insinyur, tapi dia akan
bahagia katanya pada sang ayah. Sang ayah akhirnya luluh.
Saya ingin memulai dengan teman seangkatan
saya, Muhammad Ridho Basam, seorang Makassar Arab yang pada zaman saya, sungguh
mahasiswa luar biasa. Ide-idenya selalu melampaui pemahaman kami orang-orang
yang baru datang dari kampung saat itu. Ia lebih suka mendiskusikan ideologi,
konsep negara dan revivalisme islam ketimbang bicara soal-soal anatomi atau
fisiologi.
Semangatnya tentang demokrasi dan
inklusifitas islam kadang-kadang menabrak-nabrak hal-hal yang dianggap sakral
pada zaman itu. Bahkan soal-soal paling sensitif adalam agama. Saya ingat
sekali pernah suatu ketika ia dan sobat karibnya Aslan, diusir dengan parang
dari mushollah MPM gara-gara datang berdiskusi dan mempertanyakan
"eksistensi Tuhan”. Agak gila memang ini kawan satu. Hahaha.
Kedokteran mungkin tempat yang tidak cocok
untuknya. Akhirnya ia keluar dan berdagang. Menjalani tradisi keluarga
turun-temurun. Kini dia punya perusahaan real estate dan mempekerjakan begitu
banyak orang. Terakhir saya ketemu dia memberi alasan, “Harus ada orang yang
memberi makan orang lain, Jok. Dokter kan tidak bisa mempekerjakan banyak
orang. Kalau pengusaha bisa. Hehehehe”. Akhirnya dia memilih jalan yang
berbeda.
Di generasi di bawah saya, ada sosok lain
yang luar biasa, Asri Tadda. Mantan ketua BEM. Sempat sebentar berkoas ria.
Namun akhirnya ia menemukan dunia yang membuatnya bahagia. Betah dan hidup dari
sana. Dunia blog. Membuat sekolah blog. Mengajarkan kepada orang untuk menulis
di dunia maya dan mendapatkan penghasilan dari sana.
Aneh juga seorang mahasiswa kedokteran
justeru menekuni dunia semacam itu, padahal mungkin para mahasiswa yang belajar
tentang IT dan tetek bengeknya tak pernah berpikir bahwa blog pun bisa menjadi
sumber penghidupan. Bisa menghidupi banyak orang. Beliau kalau tidak salah
pernah terpilih jadi semacam jadi salah satu "Enterprenuer muda"
terpilih oleh bank Mandiri. Profilnya sempat muncul di Kompas. Terakhir saya
lihat usahanya pun semakin meluas, merambah sampai ke usaha perkebunan dan
lainnya. Pernah saya lihat foto kerennya di depan kebun lada-nya yang luas di
daerah Luwu sana. Saya tak tahu apakah ia masih punya keinginan untuk kembali
lagi memakai jas putih, belajar lagi kedokteran. Pertanyaannya masih perlukah
ia jadi dokter?
Dan satu orang lagi yang darinya saya
banyak belajar, kanda Sudirman HN. Beliau di zaman saya sungguh anomali besar.
Beberapa orang menganggap pikiran-pikirannya adalah “pikiran-pikiran tingkat
dewa”, terutama yang dituliskannya lewat Sinovia dan Identitas. Juga
diskusi-diskusi lewat lingkar studi Metastase yang digawanginya bersama
beberapa orang “gila” lainnya, mahasiswa FK. Di zamannya mungkin tak ada yang
menyangka kalau beliau adalah mahasiswa kedokteran, bacaannya lebih banyak
sastra dan buku-buku sosial. Dari tulisan-tulisan beliau inilah sedikit banyak
mahasiswa kedokteran seperti saya mengenal siapa itu Capra, Ivan Ilich, Marx,
Nietzche, Freud, Freire, Kafka dan lainnya.
Pilihannya berhenti saat sampai S.Ked lalu
menekuni bidang yang lain sungguh membuat kami mahasiswa yang culun-culun saat
itu terperangah. Ada juga ya orang semacam itu. Namun suatu ketika saya ketemu
di kantin Jasper, berbincang dan bertanya, dia mengaku siapa bilang pilihan itu
mudah. Setiap orang tua mengharapkan anaknya jadi dokter. Fase itu bukanlah
sesuatu yang mudah katanya, keluarganya tetap ingin dia jadi dokter. Bahkan hingga
ia mendapatkan beasiswa master, doktoral dan post doktoral di Melbourne
University, Australia. Dan kini bisalah beliau dianggap salah satu “expert” di
bidang antropologi kesehatan di Indonesia. Saat ini kak Sudi' mengajar di FKM
UNHAS. Aktif di AIPI juga, utamanya mendorong ilmuwan muda Indonesia untuk
terus bertumbuh. Bagi saya, senior satu ini justeru telah menjadi sosok hebat
justeru saat dia memutuskan untuk tidak ingin menjadi dokter.
Dari ketiga orang yang tak biasa ini, saya
kagum dengan keberaniannya. Walaupun mungkin apa yang mereka pilih bisa
dianggap "gila" oleh orang lain. Jika itu betul pilihan hidupmu,
perjuangkan hingga berdarah-darah kalau perlu sampai mati. Jika tidak, just
leave it. Kejar mimpimu yang sebenarnya. Ya, ngapain terus menerus memaksakan
diri pada sesuatu yang hatimu tidak disana. Menghabiskan umur. Terpenjara
dengan rutinitas yang sama sekali tak menyenangkan. Tidakkah lebih baik
mengucapkan selamat tinggal sebelum kita berkarat dan tak sadar bahwa waktu
telah begitu jauh berjalan. Orang-orang yang kita kenal tak lagi ada di
sekitaran kita.
Ah keren pokoknya kawan-kawan dan senior
ini, salam hormat dari saya. Terima kasih telah mengajarkan bahwa dalam hidup,
kita selalu punya pilihan atas segala hal. Hehehehe.