Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Mahasiswa-mahasiswa ”Gila” FKUH

Kali ini saya ingin berkisah tentang beberapa orang yang pernah jadi mahasiswa FKUH dan menurut saya luar biasa dengan cara yang berbeda. Ini catatan lama namun entah mengapa saya ingin menuliskannya kembali.

Kedokteran, mungkin sebagian besar orang tua ingin anaknya masuk ke fakultas ini, menjadi dokter, walaupun mungkin sang anak tidak berkehendak untuk itu. Mereka punya mimpi yang lain. Tapi itulah orang tua, terkadang kasih sayangnya membuatnya merasa bahwa hanya pilihan mereka yang terbaik buat sang putra–putri tercinta. Ada juga yang pilihan sendiri namun setelah beberapa perkuliahan, beberapa semester akhirnya mereka tahu ini bukan tempatnya.

Ada yang bisa beradaptasi, ada yang gagal. Dari yang gagal itu banyak yang terpuruk, dorman disana namun ada juga yang memilih untuk hengkang. Mereka tak ingin dikalahkan oleh nasib. Memilih penghidupan yang lain dan saya kira itu lebih gagah dan jantan ketimbang terus bertahan menekuni sesuatu yang sama sekali bukan pilihan hidupnya.

Saya mengenal beberapa orang yang akhirnya memilih untuk berhenti. Dan bagi saya itu sungguh pilihan yang sangat berani. Tak bisa membayangkan bagaimana ya wajah orang tuanya saat akhirnya ia mengatakan akan berhenti. Pasti tak mudah. Seperti Farhan dalam film india yang bagus, “3 Idiots”. Orang tuanya menabung setengah mati, rela hidup susah agar anaknya jadi Insinyur. Dalam bayangan si bapak, Insinyur sinonim dengan masa depan yang sudah pasti gemerlap. Tapi si anak tak pernah tertarik jadi Insinyur. Dia tak pernah bahagia dengan itu, dia ingin menjadi seorang fotografer. Mungkin tak akan sekaya kebanyakan para insinyur, tapi dia akan bahagia katanya pada sang ayah. Sang ayah akhirnya luluh.

Saya ingin memulai dengan teman seangkatan saya, Muhammad Ridho Basam, seorang Makassar Arab yang pada zaman saya, sungguh mahasiswa luar biasa. Ide-idenya selalu melampaui pemahaman kami orang-orang yang baru datang dari kampung saat itu. Ia lebih suka mendiskusikan ideologi, konsep negara dan revivalisme islam ketimbang bicara soal-soal anatomi atau fisiologi.

Semangatnya tentang demokrasi dan inklusifitas islam kadang-kadang menabrak-nabrak hal-hal yang dianggap sakral pada zaman itu. Bahkan soal-soal paling sensitif adalam agama. Saya ingat sekali pernah suatu ketika ia dan sobat karibnya Aslan, diusir dengan parang dari mushollah MPM gara-gara datang berdiskusi dan mempertanyakan "eksistensi Tuhan”. Agak gila memang ini kawan satu. Hahaha.

Kedokteran mungkin tempat yang tidak cocok untuknya. Akhirnya ia keluar dan berdagang. Menjalani tradisi keluarga turun-temurun. Kini dia punya perusahaan real estate dan mempekerjakan begitu banyak orang. Terakhir saya ketemu dia memberi alasan, “Harus ada orang yang memberi makan orang lain, Jok. Dokter kan tidak bisa mempekerjakan banyak orang. Kalau pengusaha bisa. Hehehehe”. Akhirnya dia memilih jalan yang berbeda.

Di generasi di bawah saya, ada sosok lain yang luar biasa, Asri Tadda. Mantan ketua BEM. Sempat sebentar berkoas ria. Namun akhirnya ia menemukan dunia yang membuatnya bahagia. Betah dan hidup dari sana. Dunia blog. Membuat sekolah blog. Mengajarkan kepada orang untuk menulis di dunia maya dan mendapatkan penghasilan dari sana.

Aneh juga seorang mahasiswa kedokteran justeru menekuni dunia semacam itu, padahal mungkin para mahasiswa yang belajar tentang IT dan tetek bengeknya tak pernah berpikir bahwa blog pun bisa menjadi sumber penghidupan. Bisa menghidupi banyak orang. Beliau kalau tidak salah pernah terpilih jadi semacam jadi salah satu "Enterprenuer muda" terpilih oleh bank Mandiri. Profilnya sempat muncul di Kompas. Terakhir saya lihat usahanya pun semakin meluas, merambah sampai ke usaha perkebunan dan lainnya. Pernah saya lihat foto kerennya di depan kebun lada-nya yang luas di daerah Luwu sana. Saya tak tahu apakah ia masih punya keinginan untuk kembali lagi memakai jas putih, belajar lagi kedokteran. Pertanyaannya masih perlukah ia jadi dokter?

Dan satu orang lagi yang darinya saya banyak belajar, kanda Sudirman HN. Beliau di zaman saya sungguh anomali besar. Beberapa orang menganggap pikiran-pikirannya adalah “pikiran-pikiran tingkat dewa”, terutama yang dituliskannya lewat Sinovia dan Identitas. Juga diskusi-diskusi lewat lingkar studi Metastase yang digawanginya bersama beberapa orang “gila” lainnya, mahasiswa FK. Di zamannya mungkin tak ada yang menyangka kalau beliau adalah mahasiswa kedokteran, bacaannya lebih banyak sastra dan buku-buku sosial. Dari tulisan-tulisan beliau inilah sedikit banyak mahasiswa kedokteran seperti saya mengenal siapa itu Capra, Ivan Ilich, Marx, Nietzche, Freud, Freire, Kafka dan lainnya.

Pilihannya berhenti saat sampai S.Ked lalu menekuni bidang yang lain sungguh membuat kami mahasiswa yang culun-culun saat itu terperangah. Ada juga ya orang semacam itu. Namun suatu ketika saya ketemu di kantin Jasper, berbincang dan bertanya, dia mengaku siapa bilang pilihan itu mudah. Setiap orang tua mengharapkan anaknya jadi dokter. Fase itu bukanlah sesuatu yang mudah katanya, keluarganya tetap ingin dia jadi dokter. Bahkan hingga ia mendapatkan beasiswa master, doktoral dan post doktoral di Melbourne University, Australia. Dan kini bisalah beliau dianggap salah satu “expert” di bidang antropologi kesehatan di Indonesia. Saat ini kak Sudi' mengajar di FKM UNHAS. Aktif di AIPI juga, utamanya mendorong ilmuwan muda Indonesia untuk terus bertumbuh. Bagi saya, senior satu ini justeru telah menjadi sosok hebat justeru saat dia memutuskan untuk tidak ingin menjadi dokter.

Dari ketiga orang yang tak biasa ini, saya kagum dengan keberaniannya. Walaupun mungkin apa yang mereka pilih bisa dianggap "gila" oleh orang lain. Jika itu betul pilihan hidupmu, perjuangkan hingga berdarah-darah kalau perlu sampai mati. Jika tidak, just leave it. Kejar mimpimu yang sebenarnya. Ya, ngapain terus menerus memaksakan diri pada sesuatu yang hatimu tidak disana. Menghabiskan umur. Terpenjara dengan rutinitas yang sama sekali tak menyenangkan. Tidakkah lebih baik mengucapkan selamat tinggal sebelum kita berkarat dan tak sadar bahwa waktu telah begitu jauh berjalan. Orang-orang yang kita kenal tak lagi ada di sekitaran kita.

Ah keren pokoknya kawan-kawan dan senior ini, salam hormat dari saya. Terima kasih telah mengajarkan bahwa dalam hidup, kita selalu punya pilihan atas segala hal. Hehehehe.