Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Kenapa Sih Ada Senioritas di Kedokteran?


Kalau kita pernah nonton serial barat tentang dokter seperti ER, House, Gray Anatomy dan lainnya, saat mereka menyebut mereka pernah sekolah dimana, biasanya menggunakan istilah sekolah itu dengan “Medical training” bukan “Medical education”. Training mungkin istilah yang lebih kuat karena ada pengetahuan dan skill yang harus dilatihkan langsung di samping pasien, tidak bisa hanya diceramahkan lewat kuliah. Dan “training” tentu saja membutuhkan orang yang punya pengetahuan dan pengalaman lebih, mereka inilah yang biasa kita sebut senior.

Senioritas mungkin menjadi salah satu “trade mark” kedokteran hampir di seluruh dunia. Tentu saja tidak seperti yang terjadi di salah satu sekolah tinggi kedinasan misalnya yang untuk menghormati seniornya mereka harus membuat yuniornya babak belur terlebih dahulu, bahkan ada yang sampai harus meregang nyawa.

Kali ini saya ingin berkisah tentang salah seorang dokter yang telah dengan sangat baik mengajarkan bagaimana “respect” terhadap mereka yang lebih tua dari segi keilmuan, bukan semata umur. Tahu kan dokter Cahyono Kaelan, dosen PA. Saya pernah terkesima saat si dokter memutuskan kembali lagi jadi residen ikut PPDS Ilmu Saraf.

Bayangkan beliau saat itu sudah senior, spesialis PA, lulusan Ph.D dari Australia. Boleh jadi kepala bagian Saraf saat itu seangkatan atau lebih muda darinya. Tapi dia mau kembali lagi jadi residen semester satu, ikut segala proses bersama residen lain. Kata istri saya yang kebetulan juga pernah jadi residen Saraf, beliau idak ingin diperlakukan berbeda, ingin sama dengan residen lainnya. Beliau diterima di Saraf karena penelitiannya selama ini di bidang neurologi sehingga ia meminta izin untuk memperdalam lagi aspek klinis di bidang itu.

Ada cerita lucu tentang beliau yang pernah diceritakan kak Andri Usman, sekarang beliau konsulen Orthopedi, di mak Lia pada sebuah sore. Saat itu om Andri jadi semacam “Chief” residen atau sudah Sp.OT ya?. Saya lupa. Nah, suatu ketika ia mendapatkan konsul dari seorang residen saraf, diantar oleh koas. Lalu dia bilang sama si koas “Suruh residen jagamu kesini, saya mau tanya soal konsul ini”. Mungkin ia ingin mengerjai koas dan residennya. Ia pun dengan santai menunggu di kamar jaga. Dan ia kaget bukan kepalang saat yang datang tergopoh-gopoh adalah dr. Cahyono Kaelan. “Maaf dok saya kebetulan dokter jaga Neuro hari ini”.

Kak Andri katanya saat itu meminta maaf sejadi-jadinya pada residen yunior itu. Ia berbincang sebentar, mengambil rekam medis, mengurus sendiri segala hal yang terkait dengan si pasien. Kenapa begitu? Karena sang residen yunior ini adalah gurunya. Beliaulah lah yang mengajarkannya patologi anatomi beberapa tahun silam. Tapi bagian terbaiknya juga adalah sang senior pun bisa benar-benar menempatkan dirinya sebagai “murid”. Usia mungkin sudah sangat jauh tapi saat masuk ke tempat yang baru dia bukan siapa-siapa dan harus menerima status yang paling muda, belajar dari para seniornya yang mungkin dulu malah pernah diajarnya, disuruh-suruh juga mungkin. Kisah om Andri ini mengajarkan saya bahwa penghormatan itu melampaui status. Kisah kedua orang ini mengajarkan sebuah kerendahan hati yang luar biasa pada kami sore itu.

Di Fakultas Kedokteran senioritas saya pahami sebagai, pertama, sebuah proses penghargaan kepada sesama manusia. Ajaran agama mana atau ajaran moral mana yang bisa membantah bahwa menghormati yang jauh lebih duluan ada sebagai bukan sesuatu yang baik. Saya mungkin sangat keras meminta mahasiswa saya untuk punya sikap, “respect” pada yang lain. Sederhana, jika di kampus saja mereka tak bisa memberikan penghargaan kepada sesamanya mahasiswa atau kepada orang yang lebih tua dari mereka entah itu seniornya, dosennya, pegawai tata usaha atau mungkin cuma cleaning service, bagaimana bisa ia menghormati orang-orang yang mungkin lebih rendah statusnya secara sosial dan ekonomi dari dirinya di luar sana. Menghormati pasiennya,mungkin seorang tua yang miskin dan lusuh. Saya sangsi.

Kedua, tak pernah ada orang yang bisa menjadi dokter atau dokter spesialis hanya dengan membaca buku. Secerdas dan sejenius apa pun dia. Seorang mahasiswa kedokteran, residen dalam perjalanannya selalu butuh interaksi dengan orang yang telah lebih duluan belajar ilmu kedokteran. Setiap mahasiswa kedokteran, residen pasti pernah diajar secara personal oleh seorang senior baik itu disamping tempat tidur pasien, di ruang diskusi atau bahkan di meja operasi. Ilmu itu diajarkan oleh mereka secara langsung “person to person”. Artinya, apa yang kita miliki hari ini sebagai dokter adalah sumbangsih dari orang yang pernah menjadi guru kita, senior kita. Oleh karena nya tidak ada alasan untuk tidak memberikan penghargaan dan penghormatan kepada mereka secara wajar dan pantas.

Saya pun tidak sepakat dengan senioritas yang memaksakan segala kehendak. Senioritas yang mengindoktrinasi sang yunior seolah mereka tak punya pikiran dan kepala. Membuat mereka seperti hamba dihadapan raja. Pada zaman saya mahasiswa, banyak dari kita para yunior yang kadang tidak sepakat pada senior. Namun pun jika ada perbedaan diantara kita, semuanya dibicarakan dengan cara yang baik dan santun sehingga tidak ada yang merasa terkurangi kehormatannya. Dan hingga sekarang saya bersyukur bahwa mereka tetap menjadi senior saya, tetap menjadi teman diskusi, teman ngopi, teman bertanya, teman main futsal hingga teman main playstation dulu,dan bisa saya tulis-tulis seperti ini. Hehehe. Salam hormat untuk para senior dan guru dimanapun berada