Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Istri Saya, Dokter Aneh Itu

Kemarin sore, entah kenapa perasaan saya jadi tidak enak. Sudah menyibukkan diri di lab dengan beragam aktivitas tapi tetap saja merasa kayaknya ada "sesuatu". Hingga pagi tadi "video call" dengan istri saya di rumah dan betapa kagetnya saya melihat dia habis saja diinfus oleh perawatnya. Katanya kelelahan.

Sejak siang setelah visite di rumah sakitnya, dia sudah merasa kurang enak badan. Akhir tahun kemarin pasien membludak dan saat itu dia harus "meng-cover" beberapa rumah sakit di kotanya. Koleganya ada yang sakit dan di rumah sakit lain dia diminta menggantikan sementara beberapa teman sejawatnya yang sedang merayakan natal dan tahun baru, serta sekalian mengambil rehat sejenak bersama keluarganya.

Saya bilang, apa tidak bisa minta bantuan kawan-kawan dokter umum? Jawabannya membuat saya takjub. Kasian ayah, banyak pasien itu datang dari jauh, puluhan kilometer ke rumah sakit di kota ini. Beberapa dari mereka dirujuk oleh kawan-kawan dokter umum, pasti mereka ingin ditangani oleh dokter spesialis untuk penyakitnya. Lagian, dibandingkan mereka yang terkena stroke dan semacamnya, sakit ini tidak ada apa-apanya.

Jadi setelah diinfus siang kemarin, dia pun minta teman-teman perawatnya untuk melepas sejenak infusnya, masih dengan kanul infus terpasang lalu minta diantar ke rumah sakit satunya lagi untuk menyelesaikan "visite" pasien yang belum sempat dilakukannya.

Maaf ya jika kali ini saya merasa kagum dengan istri saya sendiri. Beberapa saat yang lalu saya menulis tentang dokter, sekumpulan orang aneh. Selalu berpikir tentang kesehatan orang lain agar mereka bisa sembuh tapi kadang lupa tentang diri mereka sendiri. Dan ternyata salah satu dokter yang paling aneh itu telah menemani saya selama beberapa tahun terakhir. Menjadi ibu dari anak-anak saya.

"Keanehannya" sudah terjadi begitu lama, sejak masih mengambil spesialisasi saraf. Dulu pernah dia dua kali mengajukan beasiswa, satu ke Dikti dan satu ke Kemenkes. Sayangnya, dua-duanya tidak ada yang tembus. Tapi kita bismillah saja, pasti ada jalan keluarlah nanti. Dan saat itu saya agak sedikit idealis, pokoknya kita tidak akan minta bantuan keluarga jika tidak sangat terpaksa sekali. Masak sudah pada dokter, berkeluarga masih minta orang tua. Hehehehe. Walaupun agak cemas juga sebenarnya, anak sudah dua, rumah masih ngontrak dan semua itu mengandalkan gaji PNS suami yang jumlahnya tak seberapa.

Apa yang kami lakukan? Kerja serabutan. Saat di Jakarta sambil kuliah S2 dan sibuk di lab Eijkman, saya menggantikan teman-teman jaga di klinik, jaga di Call Center 119 kepunyaan Dinkes, ikut proyek pembuatan buku, jadi dokter di "Hello Doctor" dan dia lebih parah lagi. Dia jualan kue yang dibuatnya sendiri pada kolega dan juga dosennya. Terutama saat natal dan Idul fitri. Dia pun jadi semacam "makelar", menjualkan barang orang entah itu tas, sepatu, sendal dan lainnya. Juga memfotokopi kan bahan-bahan untuk teman-teman residennya.

Jangan tanya saya bagaimana dia mengatur waktu untuk melakukan semua itu diantara kesibukan sekolahnya, saya juga bingung. Dan di akhir-akhir sekolahnya, untungnya sesekali dia diajak supervisornya untuk menemani mengajar praktikum di beberapa fakultas kedokteran di luar yang menjadi binaan Unhas. Tahu saja beliau kalau kita sangat kere ketika itu. Hehehe. (Terima kasih banyak dr. Cahyono Kaelan, dr.Devi Wuysang)

Ah, membayangkan ini mata saya jadi basah. Betapa besar karunia yang telah kami dapatkan dalam hidup. Hidup saat ini, Insya Allah sudah lebih baik. Mengingat kembali perjalanan itu, ajaib, bisa juga ya terlewati. Dari jauh saya cuma bisa cemas, berdoa dan menguatkan istri saya. Saya tahu dia lebih kuat dari siapapun bahkan saya sendiri. Cepat sembuh dek. Maaf ya, sudah menulis-nulis ini walau tadinya minta dirahasiakan agar keluarga tidak cemas. Terima kasih sudah menemani dalam perjalanan panjang ini.

(Kanazawa, 050116)