Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Slide Rusak Sang Professor

Saat masih di Sumba, salah seorang supervisor saya pernah menceritakan pengalamannya saat masih mahasiswa. Beliau orang Amerika, dulu associate professor di Uniformed Services University (USUHS), Bethesda, Maryland, Amerika Serikat. Universitas yang uniknya berada di bawah kementerian pertahanan Amerika Serikat. Namun saya dengar-dengar kini sudah pindah ke Notredame University.

Kami dalam perjalanan pulang dari lokasi penelitian terkait vektor malaria di salah satu kampung di Sumba ketika itu. Dan berkisahlah beliau tentang professor parasitologinya dulu, tentang bagaimana ketika mereka diajar membaca slide malaria. Sang professor itu katanya sudah sangat berpengalaman, salah satu ahli malaria terkemuka di Amerika, telah melanglang buana melakukan banyak penelitian malaria selama puluhan tahun di Afrika, Amerika Selatan dan Asia.

Nah saat mereka belajar, slide malaria yang mereka gunakan adalah slide yang sangat bagus dan jernih. Hingga sangat mudah mengidentifikasi setiap spesies hingga tingkatan hidup dari parasit malaria di dalam setiap slide itu. Ah ternyata mengidentifikasi parasit-parasit malaria seenteng ini, pikir mereka. Sebuah praktikum yang sangat mudah.

Dan ketika saatnya percobaan ujian, semua mahasiswa dalam kelas itu kaget bukan kepalang. Spesimen yang mereka harus baca buruknya luar biasa. Ada yang Giemsa-nya kebanyakan. Slide yang kotor, mungkin di cuci dengan air yang tidak bersih. Juga apusan yang kabur, boleh jadi tidak difiksasi cukup dengan methanol. Salah seorang mahasiswa, katanya, memprotes sang professor, slide-slide ini, “bad specimen”, sama sekali tidak bisa dibaca.

Lalu apa jawaban si Professor, “Spesimen-spesimen seperti inilah yang kemungkinan besar akan kalian temukan nanti saat bertugas di luar sana. Saat kalian berada di lapangan, entah itu di Asia, Afrika atau Amerika Selatan. Belajarlah dari yang terburuk”. Kawan-kawan mahasiswanya katanya cuma diam mematung. Akhirnya mereka sadar si professor memberikan spesimen itu agar mereka belajar lebih keras lagi, itu dunia yang nyata yang nantinya akan mereka hadapi.

Mendengar kisah itu, saya pun seperti disadarkan bahwa kisah itu sebenarnya untuk saya juga dan mungkin untuk kita semuanya. Jangan terlalu bersandar pada segala hal yang mudah dalam hidup. Kehidupan di luar sana jauh lebih kompleks dan kadang lebih rumit dari apa yang cuma kita pelajari dari buku dan juga kuliah-kuliah di kampus. Bersiaplah selalu dengan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Belajarlah melampaui hal yang biasa-biasa saja, hal yang standar.

Menarik, banyak dari kita yang mungkin mengalami semacam syok saat selesai berkuliah, bahkan saat gelar akademik sudah di tangan. Terkadang itu ternyata tidak cukup untuk membuat orang bisa “survive” dalam kehidupan sesungguhnya. Apalagi jika kehidupan akademik kita, nilai dan semuanya diperoleh dengan cara yang teramat mudah. Ada bagian yang saya sepakati dari pendapat beberapa orang bahwa parameter serupa IPK tidaklah secara otomatis menjadi refeksi kecerdasan seseorang, walau secara formal dia tetap penting dijadikan ukuran.

Belajar dari cerita professor diatas, penting rasanya untuk bisa belajar dalam kondisi apa pun, bahkan dari yang paling buruk sekalipun. Kadang sangat susah untuk selalu punya kondisi nyaman dan menyenangkan, sesuatu yang selalu kita inginkan. Jika dari awal orang tidak bisa ikhlas menerima hal serupa ini, boleh jadi hidupnya, pekerjaannya akan dipenuhi oleh stress, frustrasi dan mungkin bisa berakhir pada depresi. Belajar dalam keterbatasan biasanya akan membuat kreatifitas seseorang bakal lebih terasah, lebih tangguh dan tidak cengeng.

Ah teringat kisah dari supervisor saya ini serasa dapat suntikan semangat lagi. Bersyukurlah untuk mereka yang pernah ditempa dalam kesukaran, bisa bertahan dan melalui proses itu. Pada orang-orang seperti inilah yang saya kira nantinya akan memenangkan hidup, dimanapun mereka berada dan sesusah apa pun kondisinya. Pokoknya, “Never lose hope because you never know what tomorrow will bring.” Ganbatte.

(Kanazawa, 180116)