Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Lontara Empat Lantai Dua, Wahidin

Dalam perjalanan kita menjadi dokter, selalu ada tempat, persinggahan yang tak akan pernah terlupakan. Sebuah ruang, waktu lengkap dengan moment yang akan selalu kita ingat. Boleh jadi itu akan membuat mata kita berkaca-kaca.

Mengingat saat seperti itu mungkin akan membuat beberapa dari kita berjanji bahwa saat Tuhan, menakdirkan kita menjadi salah satu orang yang dipilih lalu disebut "dokter", kita tak akan menyia-nyiakannya. Kita akan menggunakan diri kita sungguh untuk memelihara kehidupan. Menjaganya dari kerusakan, kesakitan dan kepunahan. Dan moment itu bagi saya, dulu hadir di bangsal anak lantai dua, subdivisi hematologi, Lontara IV, RSWS, Makassar.

Apa yang coba saya ingat adalah sebuah ruangan dengan dinding krem, tanpa ornamen. Lalu jajaran tempat tidur pasien dari logam. Cairan infus yang tergantung dan menetes lemah. Suara desis oksigen dari dalam tabung. Suara mual pasien, lalu bau klorin dari lantai yang mengkilat ditimpa lampu neon. Saya selalu tertegun setiap kali mengingat tempat itu. Sepekan berada disana saya sungguh diajar bagaimana seharusnya menjadi manusia dengan langsung melihat derita orang lain.

Saya berdinas di tempat itu pada minggu-minggu akhir kepaniteraan klinik di bagian Anak, subdivisi hematologi. Berjaga di meja batu, di samping sebuah kamar yang penuh dengan anak-anak yang menderita penyakit darah dan perdarahan. Dan leukemia bagi saya adalah sesuatu yang paling buruk.

Ada yang serasa selalu berdarah dalam diri saya, setiap kali melangkahkan kaki ke bilik itu. Melihat mata-mata sayu yang coba berusaha semangat. Berusaha menemukan keceriaan dunia kanak-kanak yang entah mengapa terenggut begitu cepat. Kehidupan tak lagi berkawan dengan mereka. Paras-paras itu begitu pucat seperti lilin. Kulit-kulit yang keriput dan menua sebelum waktunya karena dihajar cairan kemoterapi serial tanpa henti.

Jangan sekali-sekali mengajarkan "kesabaran" bagi mereka ditempat itu. Sepanjang napasnya mereka telah dengan sabar berjuang untuk sedikit berdamai dengan kematian. Mereka adalah petarung, dan lebih berani dari siapapun manusia yang ada ditempat itu. Mereka tahu sedang berhadap-hadapan dengan maut. Tapi mereka tak pernah ingin ditaklukkan begitu mudah.

Saya selalu menguatkan hati setiap kali berkunjung kesana. Mencoba merasakan derita dan rasa sakit mereka. Saya tak ingin berpura-pura untuk itu. Bahkan kadang saya bertanya, apakah Tuhan yang menciptakan penyakit ini, menempatkan wajah-wajah polos tak berdosa itu dalam derita sebegitu rupa adalah juga Tuhan sama, yang kita selalu seru sebagai Maha Penyayang dan Maha pengasih itu. Ia yang telah menciptakan kehidupan, meniupkan napas namun serta merta merenggutnya dengan cara yang penuh rasa sakit. Maaf jika saya begitu bodoh dan emosional berjumpa dengan moment semacam itu lalu serasa mempertanyakan Dia.

Namun, selalu ada yang nampak luar biasa dari saat yang paling muram sekalipun. Saya melihat kasih dan cinta yang tak pernah berhenti bercahaya dari ruang itu. Orang-orang tua yang tetap hadir untuk putra-putranya terkasih. Mungkin sebelumnya ada yang dengan rasa manusiawi mereka, tak kuasa menerima cobaan yang teramat berat itu, lalu bertanya pada Tuhan dengan nada keras, mengapa harus mereka?. Tapi pada akhirnya mereka dikuatkan. Mereka harus tangguh seperti kanak-kanak itu.

Saya masih ingat seorang ibu muda yang begitu telaten mengurus putranya yang telah begitu rapuh oleh cairan kemo. Menceritakan dongeng tentang pelangi, tentang negeri dimana kanak-kanak bisa bermain diatas awan. Menyanyikan satu dua lagu ditepi tempat tidur. Dengan suara yang lirih hampir tak terdengar. Saya tahu ia menyanyikannya sambil berkuat menahan genangan air mata agar tidak tumpah. Ia ingin putranya tetap takjub memandang bundanya. Ia ingin sejenak sang putra melupakan sebentar derita-derita itu.

Sang ibu sungguh tak pernah kehilangan cinta. Ia tak lelah berharap setidaknya Tuhan masih memberikan putranya tercinta satu kesempatan saja untuk melihat pelangi, yang sungguh cuma bisa didengarnya dalam dongeng. Atasnya saya lalu percaya dan yakin bahwa ketulusan cinta adalah sesuatu yang menghidupkan lebih dari obat, bahkan lebih dari ilmu kedokteran itu sendiri. Si ibu itu tanpa sadar telah mengajarkannya pada saya.

Ingatan memang kadang kejam. Selalu ada yang gelap namun tak bisa kita lupakan, mungkin itu juga yang membuat kita sempurna menjadi manusia. Mengingat tempat itu, saya selalu tergetar. Setelahnya, saya akan bersegera menelepon putra-putra saya yang jauh. Sungguh ingin rasanya memeluk mereka dengan erat dan lama. Memastikan mereka baik-baik saja. Mengatakan bahwa saya sungguh mencintai dan merindukan mereka. Lalu berterimakasih pada Tuhan atas karunia itu.

Dan bangsal hematologi, lantai 2, saya cuma ingin sedikit berjalan-jalan ke masa silam. Berkelana ke sebuah waktu yang kemudian mengajar saya betapa tak mudah gelar "dr" itu ada di depan nama. Saya selalu berharap suatu ketika nanti saya masih diberi kesempatan bertandang kesana. Mudah-mudahan saat itu saya sudah cukup kuat menatap mata-mata mereka dan juga sudah dapat menceritakan satu dua buah dongeng tentang pelangi dan negeri dimana kanak-kanak bisa bermain di atas awan. Semoga.