Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Sepotong Cerita Dari Asrama Medika

Selama di Jepang, ada satu hal yang saya sadari, ternyata kemampuan memasak saya sudah sangat jauh menurun. Tak lagi sama dengan dahulu walau tak ingat kapan sebenarnya saya sungguh pernah bisa masak dengan baik dan benar. Hehehe. Menunya kini bolak-balik antara telur dadar, nugget dan sesekali opor dengan bantuan bumbu racik Indofood.

Tentang memasak ini, saya teringat sebuah tempat, Asrama Medika. Disinilah keterampilan “memasak” saya dan saya kira banyak orang ditempa, walaupun cuma masak nasi, masak air, indomie atau goreng telur. Jangan bayangkan Asrama yang dihuni anak kedokteran itu dulu sebagi sebuah tempat yang mewah. Dengan iuran 50 ribu plus uang makan 50 ribu perbulan saat itu, rasanya sungguh “mengenaskan” hidup disana. Kadang saya geleng-geleng kepala bagaimana bisa kami “survive” saat itu.

Dan memang penghuni asrama pada zaman saya sebagian besar bukanlah orang tajir dan berada. Kalau bukan anak pegawai negeri tanpa jabatan, ya pasti anak pedagang atau petani. Kami hanya sekelompok mahasiswa kedokteran biasa dari berbagai penjuru kampung di Indonesia yang datang ke tempat itu menimba ilmu. Beberapa orang disana dengan sangat gigih berjuang ditengah keterbatasan finansial yang mereka miliki. Sebenarnya bisa saja kita minta bantuan fakultas saat itu untuk memberi subsidi, namun idealisme anak muda zaman itu membuat kami agak ogah. Takut hal-hal semacam itu menjadi alasan intervensi macam-macam. (Hahaha, padahal akhirnya tetap saja minta bantuan fakultas karena tidak kuat bayar tagihan air dan listrik)

Saya memang agak terlambat masuk disana, sudah bagian terakhir di tingkat 5, kalau tak salah anak saat itu. Saat saya masuk, saya adalah yunior meskipun yang dianggap “senior” itu adalah juga adek-adek mahasiswa preklinik yang pernah saya ospek dan ceramahi dengan macam-macam bualan tentang idealisme mahasiswa. Tentang mahasiswa yang harus kritis, kreatif, inovatif dan penuh motif.

Artinya karena saya yunior maka saya pun kebagian tugas “basic” untuk mengurus rumah tangga asrama. Ada yang masak air dan nasi. Dua pertama ini yang paling penting. Lalu bersih-bersih asrama. Bayar telepon dan listrik serta mengumpulkan iuran dan uang makan yang luar biasa susahnya.

Mengurus uang asrama, saya akhirnya jadi mengerti benar apa yang dimaksud dengan konsep subsidi silang. Ada dari kawan-kawan itu yang betul-betul susah dapat “kiriman”, kadang sekali tiga bulan. Itu pun tak bisa langsung membayar seluruh tunggakan karena kirimannya tak cukup. Ada yang nampaknya seperti tak pernah dapat kiriman apa-apa. Dan untuk kawan-kawan semacam itu mereka ditanggung oleh penghuni asrama lain yang kebetulan sudah dapat kiriman. Hal-hal semacam ini tanpa disadari membuat ikatan diantara kami tumbuh begitu kuat, saling membantu, jika ada kelebihan makanan di bagi bersama. Jika ada yang kehabisan uang, ada yang talangi dahulu. Asrama kemudian menjadi bukan hanya tempat tinggal namun juga keluarga.

Tentang kekeluargaan asrama, ini sangat keras sifatnya, jika misalnya ada warga yang nilai-nilainya jelek bahkan terancam DO maka akan segera dilakukan rapat darurat asrama. Membahas nasib sang kawan, mereka yang “terancam” harus mendapatkan perlakuan khusus. Biasanya akan ada aturan bahwa mereka harus belajar dengan diawasi oleh seorang warga yang ditugaskan untuk itu. Seluruh warga harus bersedia memberikan tenteran bergilir. Dan bagi warga ini, dilakukan jam malam, tidak boleh ada kegiatan selain kuliah, tidak boleh ikut kegiatan apa pun diluar itu, bahkan tidak boleh nonton TV sampai nilainya membaik atau lepas dari ancaman DO. Aturan ini tidak boleh dilanggar oleh siapa pun. Kejam nampaknya, tapi untuk kebaikan saudara kita, kita memang kadang harus sangat keras.

Jika ada yang naksir seorang adik, maka kita akan selalu “kompor-kompori”. Ada yang karena tidak tahan terus digodai maka selesai koas dia langsung melamar sang “akhwat” yang bersangkutan, takut fitnah katanya. Padahal. Hehehe. Mereka kini sudah selesai sekolah bedah dan interna. Ada juga yang saking kesengsemnya sama salah seorang kenalan mahasiswi Hukum, adek dari medan kayaknya saat itu, jam 12 malam ngebet diantar ketemuan ke Wesabbe. Gila ini kawan, ndak bisa nunggu besok, banyak anjing lagi. Itu pun di depan kost si adik cuma bilang hai, ngobrol 2 menit dan pulang. Sekarang beliau lagi sekolah anak, mudah-mudahan sudah lupa pengalaman luar biasa itu. Hehehe.

Mungkin ada yang berpikir ngapain juga mahasiswa senior di fakultas seperti saya mau disuruh-suruh oleh mereka yang sesungguhnya adalah “adek” untuk melakukan hal-hal semacam itu. Tapi ada satu hal yang kemudian saya pelajari dari sana bahwa untuk “survive” ditempat apa pun kita berada, hal paling pertama yang harus dilakukan adalah menghormati orang yang telah lebih dahulu ada di tempat itu. Membuat diri kita berada pada “frekuensi dan gelombang” yang sama dari hal-hal yang dianggap sebagai nilai kepatutan oleh mereka. Tentu saja pada batas-batas yang wajar.

Karenanya saya dan kawan-kawan yang lain tidak perlu merasa aneh saat itu jika dari rumah sakit, kita harus izin sebentar untuk pulang masak nasi dan air untuk penghuni asrama, terutama saat bulan puasa. Anggaplah saat itu kita sedang belajar berkhidmat pada “anak-anak terlantar” semacam mereka. Walaupun kata kawan-kawan terkadang nasi hasil masakan saya sering berubah jadi “nasi bakar”, gosong karena kelamaan diatas kompor.

Akhirnya, saya cuma bisa berterimakasih kepada Medika atas kesempatan tinggal di tempat luar biasa itu. Pernah hidup di sana membuat hidup di tempat lain, sesusah apa pun menjadi lebih mudah. Terima kasih kepada para penghuninya dengan beragam kharakter, mulai dari yang suka ngajak sholat subuh, setiap subuh keliling ketok seluruh pintu kamar hingga warga sekamar saya yang suka koleksi VCD “begitu” dan ngajakin penghuni nonton rame-rame. Hahaha. Orang bisa membahas konsep negara islam di ruang tamu dengan berapi-api, bersitegang tapi saat ada adik-adik mahasiswi yang tinggal di rusun sebelah lewat, langsung pada godain, pembicaraan pun berubah jadi kriteria isteri ideal di masa depan. Komplit. ( Jadi ingat adik yang matanya bagus itu. ).

Generasi saya semuanya telah jadi dokter. Beberapa dari mereka telah bertugas, tersebar di seluruh Indonesia. Banyak juga yang telah selesai spesialis dan beberapa lagi masih sekolah untuk itu di beberapa center seperti Unhas, UI, dan Unair. Bedah, bedah saraf, anak, anestesi, bedah urologi, paru, ortopedi, obgyn, THT dan lainnya. Kalau dihitung-hitung nampaknya sudah bisa bikin satu rumah sakit yang sangat lengkap dengan para alumni itu. Pokoknya, salam “Kumpul” untuk semuanya. Sampai ketemu lagi di reuni berikutnya.