Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Gubernur Impor dari Jepang untuk Jakarta

Di Jepang, kami mahasiswa Indonesia diberikan KTP juga. Dulu namanya lucu, "alien card" kalau sekarang sudah sedikit manusiawi jadi "residence card". Artinya dengan kartu itu, hak kewajiban kami hampir sama dengan orang Jepang asli, kecuali satu, ikut pemilu.

Namun siapa sih yang mau ikut milih disini, kawan Jepang saya saja nyaris tak pernah menggunakan hak pilihnya. Padahal beberapa saat yang lalu katanya ada pemilihan dewan kota di sini. Mereka orang muda, terkesan cuek dengan soal-soal politik. Bahkan semua kawan di lab saya tak ada yang hafal siapa gubernur prefecture Ishikawa, provinsi dimana kami tinggal.

Saya juga tak ikut-ikutan pusing (karena memang tak bisa), toh selama kita dapat layanan publik yang baik. Saat datang mengurus sesuatu ke balaikota misalnya, urusannya cepat diselesaikan, tidak bertele-tele dan tanpa perlu "uang pelicin". Jika ada komplain, maka itu ditangani dengan cepat dan sangat serius, sampai didatangi ke rumah.

Terkait komplain kadang sebenarnya warga yang salah. Seperti beberapa saat yang lalu, tiba-tiba saya mendapat tagihan asuransi kesehatan yang mahal sekali. Hampir 6 kali lipat dari asuransi yang biasa saya bayarkan. Padahal pelajar disini dikategorikan "tidak bekerja". Dilaporkanlah masalah saya itu ke balaikota oleh seorang kawan. Ternyata, itu terjadi karena saya tidak memperbaharui data pendapatan tahunan saya yang formulirnya telah dikirim sebelumnya. Tapi mereka yang minta maaf, dan pekan depannya saya mendapatkan tagihan sesungguhnya, sebagai pelajar.

Sama juga beberapa waktu lalu, saat ada seorang kawan Indonesia yang mendaftar untuk tinggal di perumahan yang disubsidi pemerintah. Kompleks apartemen itu disediakan bagi keluarga dengan pendapatan terbatas dalam versi pemerintah Jepang. Biasanya, tempat di apato itu diundi karena banyaknya peminat. Namun saat petugas di balaikota itu tahu kalau kawan itu membawa anak lima dari Indonesia maka dia langsung diprioritaskan. Dan jadilah dia dapat satu tempat di sana.

Hmmm, sungguh saya rindu pejabat publik serupa itu. Mereka yang benar-benar mengurusi dan memperhatikan warganya, memenuhi kebutuhan mereka. Dan maaf, saya disini tak pernah bertanya apa agama mereka, rajinkah mereka ke kuil, vihara atau gereja seandainya ada yang kristen?

Tapi pasti saya akan dibully jika menggunakan prinsip yang sama di Indonesia, negeri dimana untuk memilih pemimpin publik, hal yang pertama kali ditanyakan adalah "beriman" atau tidakkah mereka. Sesuatu yang sangat sukar diukur, itu pun kadang dinilai dengan satu tafsir iman saja.

Namun kalau ada teman misalnya yang masih ngotot, tak apa juga. Cuma, saya agak hati-hati menjadikan agama sebagai jualan bagus tidaknya seorang pemimpin. Sejarah menunjukkan pada kita bahwa itu tidak selalu segaris dengan kecakapannya menjadi pemimpin publik, bahkan juga tidak segaris dengan ahlaknya saat memegang jabatan.

Pemimpin publik yang terjerat kasus korupsi misalnya, tidaklah mencerminkan ahlak yang agamis bagi saya. Tentu saja ada juga yang bagus, tapi kalau ada yang jadi bagus dan ada yang tidak, berarti ukuran itu dalam statistik mencerminkan nilai "Confident Interval" yang terlalu lebar, bisa jadi melewati nol. Pasti tahu semua artinya bukan.

Kalau kedua hal itu terjadi, apa iya salah agamanya? Tentu tidak . Jadi mungkin bagusnya cobalah cari tokoh yang benar-benar dianggap cakap jadi pemimpin publik, syukur-syukur kalau pintar mengaji. Atau apa perlu kita mengimpor orang dari sini jadi calon Gubernur jika tidak ada tokoh yang dianggap sepadan untuk menantang Ahok misalnya? Hehehe.