Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Dokter dan Sebatang "Beng-beng"

Apa yang membuat seseorang percaya, memegang erat lalu berjuang begitu kuat agar mimpi-mimpinya tercapai. Tak ada yang tercipta begitu saja, saya percaya itu. Setiap kita yang sekarang adalah hasil sebuah perjalanan panjang, proses yang tak henti-hentinya menempa dan membentuk orang. Ada saat bahagia, ada saat orang berada di puncak namun ada juga saat dimana orang terpuruk, terjatuh. Tapi diantara semua itu, mungkin ada satu momen kecil dalam puluhan, mungkin ratusan bab dari buku hidup kita yang benar-benar memberi pengaruh, mengubah perspektif, lalu cara kita menjalani hidup selamanya.
Saya mengenal seorang kawan yang punya kisah itu. Saya minta maaf akhirnya menulis kisahnya setelah sekian lama. Kawan itu, seorang dokter, seorang spesialis, tak usah saya sebut namanya. Dia seorang periang yang selalu sukses menularkan kegembiraan saat ia hadir di sekitaran. Saya mengenalnya begitu saja karena urusan penelitian yang mengharuskan saya mengambil data di rumah sakit tempatnya bekerja. Singkat cerita setelahnya kami akrab, sebagai teman, mungkin lebih tepat seperti saudara walaupun interaksi dengannya cuma sesekali saja saat itu.
Kawan ini, seorang yang sangat cerdas menurut saya. Nalar dan logikanya sebagai seorang dokter selalu membuat saya cuma seperti seorang mahasiswa kedokteran tingkat satu saat berbincang dengannya soal ilmu-ilmu kedokteran. Perhatian dan kepekaannya pada para pasiennya sangat luar biasa, akhir pekan ia masih menyempatkan diri mengunjungi pasiennya saat dokter lain mungkin memilih bercengkrama dengan keluarganya. Saya pernah berkelakar, seandainya mungkin bunda Teresa bisa di buatkan replika kayaknya dia pas deh menjadi salah satu kandidat.
Ada satu kebiasaan kawan ini yang selalu membuat saya penasaran sejak awal. Dia selalu membawa wafer coklat semacam “beng-beng” bersamanya. Dalam beberapa kesempatan berjumpa dengannya, saya selalu menemukan benda itu. Tidak selalu untuk dimakan, tapi selalu ada. Suatu ketika saya penasaran lalu bertanya, “Dok, kenapa sih selalu membawa wafer beng-beng itu. Saya sempat berpikir loh kalau dokter ada kelainan?" Hahahaha
Saat itu kawan itu tak menjawab, hingga suatu ketika kami berjumpa lagi dan ngobrol ngalor-ngidul. Lalu dia nyeletuk, “Oh ya kamu pernah nanya kenapa saya bawa beng-beng terus kan?”. Ternyata kawan saya itu masih ingat. Iya kata saya, sampai sekarang saya masih penasaran. Setelah itu dia tersenyum, lalu bercerita.
Sebatang wafer coklat ini, mungkin secara tidak langsung yang membuat saya begitu keras mengejar cita-cita menjadi dokter. Belajar begitu keras, mengurung diri dalam kamar untuk menjadi yang terbaik di sekolah sejak SD hingga SMA. Seperti orang gila. Saya sadar banyak momen musim semi kehidupan yang saya lewatkan dalam hidup saya. Menjadi tidak seperti anak-anak seusia saya saat itu
Ia menarik nafas sejenak lalu lalu melanjutkan, katanya, Wafer coklat ini, selalu mengingatkan darimana saya berasal. Darimana semua hal dalam hidup saya dimulai. Saat saya kecil, saya dengan satu-satunya adek kandung dipelihara oleh ibu saya dalam sebuah kondisi yang sangat terbatas. Walaupun beliau selalu berusaha memenuhi kebutuhan kami. Tapi banyak hal yang tak bisa kami dapatkan seperti anak-anak lainnya.
Saat itu saya masih SD. Pada suatu hari, sepupu saya kedatangan ayahnya. Ayahnya bekerja di maskapai Garuda, bayangkanlah di zaman itu sudah bekerja di perusahaan sekelas Garuda. Sang ayah membawakan wafer coklat yang mirip beng-beng untuk anaknya. Saya pun dibagi lima batang. Bahagia sekali rasanya, seperti mendapat hadiah dari surga. Wafer itu, baru kali itu saya melihatnya. Takjub setiap kali memandangnya. Saking tidak inginnya saya kehabisan, setiap batang wafer itu saya gigit sedikit-sedikit, perlahan-lahan, dicicil-cicil agar tidak cepat habis. Saya ingin menikmati wafer itu lebih lama, tapi ternyata setelah beberapa hari, tetap habis juga. Saat wafer terakhir saya habis, saya begitu sedih.
Kali berikutnya, saat sang ayah sepupu saya datang lagi, dia membawakan wafer coklat itu lagi untuk anaknya, tapi kali itu saya tidak dibagi. Padahal saya sudah gembira, merasa akan mendapatkan wafer-wafer itu lagi. Saya cuma bisa memandangi sepupu saya itu mengigit dan mengunyah wafer-wafer itu dengan nikmat , tak peduli, tanpa sedikit pun iba dan mau berbagi sepotong saja. Tapi saya tidak berani memintanya, walaupun saya begitu ingin. Hingga akhirnya pada potongan wafer terakhir, mata saya mulai berkaca-kaca. Entah kenapa terasa sakit saat wafer-wafer itu tandas tak bersisa, saya kemudian lari dari hadapan sepupu saya dan menangis.
Sejak saat itu, saya berjanji tidak boleh hidup dari iba orang lain. Saya harus mencapai segala hal yang terbaik dalam hidup saya. Saya berjanji anak saya nanti tak boleh merasakan hal-hal pahit yang pernah saya rasakan dulu. Wafer beng-beng ini menjadi semacam pengingat, penguat untuk tidak mudah dikalahkan oleh apa pun.
Saya hanya bisa tertegun mendengar cerita kawan saya itu, matanya basah, saya juga. Tapi sebelum kawan itu menyadari mata saya ikutan berkaca-kaca, saya pun langsung nyeletuk, “Tapi sekarang dok jangankan wafernya, tokonya sekalian sudah bisa dokter beli kan". Berbahagialah orang yang masih punya masa lalu, sesuatu yang selalu mengingatkan mereka akan akar dari mana mereka datang. 
Sama dengan kawan saya tadi, mungkin masa kecilnya bukan masa bahagia untuk dikenang, tapi tetap saja cerita tidak bahagia tentang wafer beng-beng itu mungkin salah satunya yang membuat dia berjuang begitu keras melawan keterbatasannya. Sukses seseorang mungkin banyak yang melihatnya saat ini saja, tapi lupa betapa berat dan melelahkan perjalanan untuk sampai disana. Itu butuh stamina untuk bertahan kata kawan saya, dan untungnya dia punya wafer beng-beng. Dan saya kira kita semua punya wafer "Beng-beng" kita masing-masing.