Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

"Saatnya Membubarkan BPJS?"

“Dok, pasien strok atas nama bapak X, plafon biaya BPJS-nya sudah hampir habis.”
“Terus gimana bu, pasiennya nampaknya belum bisa dipulangkan”
Percakapan itu sering sekali dijumpai istri saya, sejak dulu saat dia masih sekolah hingga kini beberapa kali di rumah sakitnya. Dan biasanya setelah percakapan itu suasana akan hening. Tak ada jalan keluar yang cukup menggembirakan.
Penyakit-penyakit neurologi semacam strok, tidaklah bisa dibayangkan seperti demam karena main hujan, satu dua hari mungkin bisa membaik. Penyakit ini kadang butuh waktu yang lama, biaya yang mahal untuk pemeriksaan dan terapi, apalagi misalnya jika sang pasien sampai harus dimasukkan ke ICU karena keadaannya memburuk.
Dan dengan adanya limit plafon biaya, di satu sisi ada bagusnya, membuat dokter sangat efisien melakukan pemeriksaan dan memberikan terapi. Namun bagaimana jika ternyata waktu, tindakan yang diberikan tidak seperti yang diharapkan. Jadi lebih mahal dan lama. Itu bisa jadi, tak ada lagi yang tersisa untuk membayar jasa medis dokter dan perawat, bahkan jika lebih lama lagi, bisa-bisa malah minus, harus ditomboki rumah sakit entah dari mana.
Di kesempatan yang lain, cerita istri saya lagi. Ada seorang anak muda datang ke prakteknya. Dia baru saja diterima bekerja di salah satu mini market di kotanya. Keluhannya sudah lama sebenarnya. Sakit kepala yang tambah lama tambah berat, dan kini disertai muntah hebat. Saat sakit kepala itu datang, kepalanya serasa mau meledak katanya.
Istri saya lalu memeriksanya, menyuruhnya datang ke poli neuro di rumah sakit tempatnya bekerja keesokan harinya. Dia ingin meminta sang pasien melakukan pemeriksaan CT-Scan kepala. Mungkin dia mencurigai sesuatu.
Keesokan harinya sang pasien pun datang, lalu diberikan pengantar untuk melakukan pemeriksaan CT Scan dengan pesan, setelah hasilnya ada bawa lagi ke sini, kata istri saya.
Namun ditunggu-tunggu sang pasien tak juga kembali hingga beberapa hari. Hmmm, mungkin pasiennya tidak jadi CT Scan. Hingga sekitar seminggu setelahnya, akhirnya pasien itu muncul ke tempat prakteknya. Kali ini membawa hasil CT Scan-nya.
“Loh kok baru datang sekarang, kan saya bilang kalau hasilnya ada, segera ketemu saya”
“Maaf dokter, ternyata biaya CT Scan mahal, saya harus ngumpul-ngumpulin uang dulu untuk bisa melakukan pemeriksaan itu”
“Loh kamu ndak punya BPJS?”
“Belum ada dok”
“Hmmm, coba sini hasil CT Scan-nya”
Membaca hasil CT scan tersebut istri saya menghela nafas, ini adalah gambaran SOL (Space occupying Lesion), sebuah istilah untuk menghaluskan adanya massa asing dalam kepala pasien tersebut, kemungkinan besar tumor. Sayang sekali, masih muda.
“Begini nanti kamu kembali lagi ke poli rumah sakit ya, saya ingin mengkonsultasikan penyakitmu ini pada kolega saya dokter bedah saraf”
“Tapi sebelum itu sedapat mungkin kamu segera mendaftar BPJS, saya khawatir biaya pemeriksaan dan pengobatan penyakitmu ini akan sangat mahal nantinya”
Seperti kata saya pada seorang kawan hari ini, saya memang bukan klinisi tapi sering sekali mendengar “curhat” tentang BPJS ini. Dua cerita diatas bisa kita anggap sedikit mewakili banyak sisi BPJS.
Bagi para tenaga medis, termasuk istri saya, kadang dia pusing dengan BPJS. Tarif jasa medis yang rendah (mungkin ini ketaksukaan terbesar), Dokter tak lagi bebas memberikan terapi dan pemeriksaan karena adanya pembatasan biaya yang ditanggung, apalagi ya, pasien jadi membludak, hmmm saya tidak tahu ini bisa jadi alasan, dari dulu sebelum BPJS pasien selalu banyak.
Tapi bukan dokter saja, pasien juga beberapa tidak suka BPJS. Antriannya panjang. Obat-obatnya terbatas terutama untuk rawat jalan. Dulu pasien penyakit kronis pada zaman Askes bisa dapat obat sebulan, kini dibatasi kadang cuma beberapa hari saja oleh rumah sakit demi efisiensi.
Di sisi lain, pasien seperti anak muda di atas butuh BPJS sebagai penyelamat hidupnya. Saat biaya kesehatan saat ini gila-gilaan untuk penyakit yang berat, butuh pemeriksaan dan tindakan lanjut, membayar sendiri dari kantong pribadi bukanlah pilihan menarik. Orang sekaya apa pun bisa langsung jatuh miskin.
Saya jadi ingat seorang pasien gagal ginjal dulu, meninggal karena tak lagi punya uang untuk cuci darah dan parahnya dia tidak punya asuransi sama sekali. Dan mari ambil contoh cuci darah saja ya, coba cek harganya di rumah sakit berapa biayanya sekali tindakan, taruhlah dua kali seminggu seumur hidup, saya jamin mereka yang teriak-teriak tidak butuh BPJS akan segera tutup mulut.
Jadi pilihannya ada dua, pertama mari berteriak agar BPJS dibubarkan saja jika dianggap menyusahkan semua orang. Kedua, kita juga tetap berteriak, tapi BPJS tetap ada, tuntutannya kali ini agar mereka segera memperbaiki system dan pelayanannya, termasuk perbaikan tarif jasa medis yang selama ini dianggap kurang adil.
Hmm, saya ingin memilih yang kedua, saya masih merasa negeri ini butuh jaminan kesehatan universal seperti BPJS. Bahwa masih banyak kekurangan, ya ada banyak sekali. Tapi dua tahun berlalu sejak pertama kali diluncurkan, dan BPJS masih “survive” dengan segala kekurangan yang harus dibenahi, rasanya sangat luar biasa.
Setidaknya 10 atau 15 tahun yang akan datang, jika ini tetap ada dengan segala perbaikannya, kita tidak harus seperti Michael Moore yang membuat film documenter, “Sicko” itu, isinya seperti penuh “penyesalan”. Kenapa sih biaya layanan kesehatan mereka di Amerika Serikat sana sangat mahal, tak terjangkau dan tidak ada jaminan kesehatan bagi seluruh warga negaranya seperti di Kanada, Inggris atau di Kuba. Menurut kawan-kawan bagaimana ini? Hehehe.
(Kanazawa, 150216)