Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Antara Prof. Irawan dan Perusahaan Jepang

Membaca artikel Nikkei Asia (9/2) tentang "kekalahan" beberapa perusahaan Jepang terhadap rivalnya di Asia, saya jadi teringat dengan apa yang dilakukan oleh mantan dekan kami, Prof. Irawan Yusuf di Fakultas Kedokteran UNHAS dulu dan saya kira itu terus berlanjut ke kepemimpinan dekan saat ini.

Jepang adalah negara yang perusahaannya sangat kuat di bidang teknologi, bahkan sampai kini masih jadi kiblat di dunia. Tapi ada satu hal yang tak bisa dipungkiri, kemampuan beberapa negara lain di Asia dalam bidang teknologi juga terus meningkat bahkan dalam beberapa bidang seperti elektronika dan automotif telah hampir setara.

Korea dan China bisalah dianggap penantang teknologi Jepang yang paling serius. Ketika teknologi telah setara, maka seperti kata artikel diatas, pertarungan berikutnya pada bagaimana mereka mengelola pasar, pada aspek manajemen, hal yang di banyak perusahaan Jepang, posisi itu tidaklah dianggap penting ketimbang teknologi. Gaji manajernya pun tidaklah sebesar manajer lain di perusahaan China, Korea dan Singapura.

Untuk bidang satu ini, Jepang dikatakan masih belajar. Sehingga kadang mereka gagap saat melakukan negosiasi dengan perusahaan lain yang CEO nya memang berorientasi bisnis, tidak sekedar teknologi. Alhasil, kita bisa lihat sedikit demi sedikit barang-barang Jepang yang dulu pernah berjaya di pasar sekarang tergantikan oleh produk Korea maupun China.

Kenapa fenomena ini mengingatkan saya pada Prof. Irawan, ini khususnya dalam bidang riset ya. Alhamdulillah di fakultas kami cukup banyak kerjasama penelitian yang dilakukan dengan banyak lembaga baik lembaga donor internasional, perusahaan farmasi multinasional maupun institusi pendidikan lain di dalam dan luar negeri. Ruang lingkup penelitiannya pun cukup luas, mulai dari malaria, dengue, kanker hati dan kolon, hepatitis, TB, lepra dan dulu flu burung.

Nah Prof. Irawan saat menjadi dekan sangat gencar membangun kerjasama itu. Bahkan berani menyediakan gedung untuk laboratorium dengan catatan mereka menyediakan isinya, alat laboratorium dan lain sebagainya juga menjadikan dosen FKUH sebagai staf disana untuk melakukan penelitian sekaligus alih teknologi. Kata beliau, untuk mencapai tujuan itu pertanyaan pertama saya pada mereka adalah, "Apa yang bisa kami bantukan agar anda datang ke Fakultas kami, bukan sebaliknya, berapa fee yang bisa anda bayarkan pada kami jika anda kami terima disini".

Ya, seperti kasus perusahaan Jepang diatas. Kalau dilihat dari penguasaan ilmu dan teknologi, fakultas-fakultas kedokteran terkemuka di Indonesia cukup kompetitiflah, mirip. Toh semuanya banyak mengirim stafnya juga bersekolah bahkan sampai ke luar negeri.

Jadi perbedaanya dimana, perbedaannya katanya adalah bagaimana kita menyiapkan tempat saat mereka pulang nanti. Dan itu membutuhkan kemampuan untuk menangkap setiap peluang yang ada. Sayang sekali punya staf bagus yang banyak tapi tidak bisa memanfaatkan ilmunya. Dalam bahasa beliau, dengan begitu kita gagal mengubah "Human Capital" menjadi "Human Resources". Penguasaan sains dan teknologi yang tidak bisa dimanfaatkan, tak ada gunanya karena aktifitas itulah yang akan menjadi daya saing kita nantinya.

Ah menarik artikel diatas, dan rasanya memang kita harus antisipatif mengelola masa depan. Penguasaan sains dan teknologi penting, namun ternyata itu tidak cukup hari ini, ya agar nasib kita tidak serupa perusahaan Jepang ini. Hehehe.
(Kanazawa, 120216)