Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Muda-mudi Jepang


Di lab saya, ada 2 orang mahasiswa S1 yang lagi magang, dua-duanya perempuan. Dua-duanya selalu datang ke lab dengan dandanan modis ala muda-mudi Jepang kebanyakan. Kadang datang dengan rok mini, stocking ketat, sepatu hak tinggi (walau sampe di lab diganti sendal lab ya).
Nah salah satu dari mereka, setiap Jumat sore selalu minta izin pulang lebih cepat pada sensei. Tentu saja mintanya dalam bahasa Jepang yang tak saya pahami. Setelah saya tanya, ternyata dia "Baito", istilah untuk "part time job". Dia jadi kasir di salah satu supermaket.
Katanya, orang tuanya utamanya membayarkan uang sekolah, mungkin apartemen, selebihnya cari sendiri. Ah, kok begitu kata saya. Apakah orang tuanya tidak mampu?
Hmm, tidak juga nampaknya, di hari yang lain dia pernah bercerita pengalamannya jalan-jalan ke luar negeri dengan ibunya. Baru tiga negara katanya, Inggris, Perancis dan Spanyol. Tentu saja kalau travellingnya dengan ibu mungkin agak susah ya kalau backpackeran.
Di asrama saya yang dulu di sini, supervisor kami mahasiswa S1 juga. Keren sekali tampilannya. Mobilnya pun unik, sedan kecil berwarna merah darah. Dan dia pun sama, dia bekerja sambilan sebagai "penjual ikan", di pasar Omicho. Pasar ini sangat terkenal di Kanazawa sebagai pusat jual beli ikan segar.
Dia sangat bangga dengan pekerjaannya. "Saya bisa membedakan mana ikan yang bagus dan tidak, hanya dengan melihatnya". Katanya suatu ketika tentang pekerjaannya. Awalnya saya susah membayangkan cowok metroseksual yang rapi dan wangi seperti dia bisa betah bekerja di pasar yang penuh dengan bau amis ikan.
Fenomena bekerja sambilan nampaknya sangat banyak ditemukan di Jepang. Dari lansia hingga orang muda.Jadi jangan salah kira lalu mengatakan, ih masih muda, cakep, kasian cuma bisa bekerja jadi pelayan toko atau restoran, jadi penjual ikan, jadi kasir. Jangan-jangan mereka malah mahasiswa Ph.D loh. 
Kultur kerja keras memang tak bisa dipisahkan dari orang Jepang. Rasa-rasanya mereka bingung tanpa melakukan apa-apa. Dan seperti apa pun aktivitas yang mereka lakukan, itu pasti dilakukan dengan sangat berdedikasi, penuh totalitas.
Ini juga yang mungkin membangun karakter mereka, sopannya itu loh, termasuk kultur melayani. Lah mereka sudah terbiasa di tempat kerja saat melayani pelanggannya. Dan nampaknya itu terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi bagi adik-adik mahasiswa di Indonesia, mungkin kita kadang tak punya kemewahan bisa bekerja sambilan seperti mereka ya. Namun saya selalu kagum dengan beberapa orang yang masih sempat bekerja, membangun bisnisnya di tengah kesibukan sekolah. Dan pada orang seperti ini, pastinya mereka cenderung sukses di masa depan. They know how to treat people well.
Ah menarik melihat fenomena ini, sesekali mungkin perlu juga kita seperti anak muda Jepang ya, tidak melulu "menyusu" pada orang tua. Hehehe.
(Kanazawa, 270116)