Beberapa
saat belakangan ini banyak sekali postingan-postingan di Facebook yang
mengklaim punya penjelasan ilmiah atas beberapa fenomena agama. Menarik
sebagai bahan bacaan ringan tapi nampaknya agak sedikit berbahaya jika
kemudian diberi embel-embel “penjelasan atau fakta ilmiah”.
Saya
jadi ingat di grup dosen Indonesia, seorang kawan pernah kelimpungan.
Dia memposting bahwa kata seorang professor dari luar negeri, Ka’bah
adalah pusat semikonduktor bumi. Itu terjadi karena katanya adanya
gerakan thawaf terus menerus mengelilinginya. Mungkin beliau ingin
membuat pembaca takjub bahwa coba lihat, betapa benarnya ajaran islam
sehingga seorang professor barat pun memberi testimoni.
Namun
persoalan kemudian muncul karena ternyata pembaca dalam grup tersebut
banyak yang sangat kritis, namanya juga dosen, banyak para ahli disana.
Mereka mempertanyakan banyak hal semacam apa sih maksud pusat
semikonduktor bumi itu? Bagaimana mekanisme thawaf bisa menjadikan
Ka’bah pusat semikonduktor bumi? Sebelum ada orang thawaf disana lalu pusat semikonduktor bumi itu dimana? Ini kesimpulannya dari penelitian
dengan pendekatan apa, fisika atau geologikah? Siapa sih professor itu,
dimana kita bisa melacak hasil penelitiannya? Di jurnal mana sih hasil
penelitian ini diterbitkan?
Kontan saja, kawan itu kaget
karena ternyata postingannya itu mendapatkan pertanyaan yang begitu
serius. Dia tak mampu memberi penjelasan, mungkin tidak sempat atau
“tidak pernah” membaca postingan itu dengan kritis sebelumnya, seperti
banyak kebiasaan dari kita yang hanya baca judul dan klik “share”.
Parahnya postingan itu ternyata tak punya tautan referensi sama sekali,
tak ada penjelasan saintifik saat kita ingin tahu kok bisa, bagaimana
caranya dan bagaimana membuktikan mekanisme itu benar. Mungkin kawan itu
lupa bahwa saat kita menyematkan kata “ilmiah” pada suatu statemen maka
kebenaran statemen itu harus bisa diverifikasi, harus punya bukti sahih
yang bisa memberi penjelasan mengapa kesimpulan ilmiah itu muncul.
Serupa
dengan sebuah artikel yang banyak di share beberapa hari ini. Judulnya
keren, “Fakta ilmiah di balik waktu sholat”. (Linknya disini, http://9trendingtopic.blogspot.jp/2015/04/subhanallah-inilah-fakta-ilmiah-dibalik.html).
Awalnya saya tertarik membaca artikel singkat ini karena ada kata-kata
“fakta ilmiah”-nya. Walaupun kemudian saya kok malah menemukan banyak
hal yang sangat merisaukan hati. Dan karena latar belakang keilmuan
saya, malah jadi ragu benarkah ini adalah sungguh fakta ilmiah. Coba
perhatikan beberapa bagian-bagian awal dari artikel tersebut di bawah
ini, saya tidak ingin mengutip semuanya.
“Pada waktu
subuh, alam berada dalam spectrum warna biru muda yang bersesuaian
dengan frekuensi tiroid (kelenjar gondok). Dalam ilmu Fisiologi (Ilmu
Faal-salah satu dari ilmu biologi yang mempelajari berlangsungnya sistem
kehidupan) tiroid mempunyai pengaruh terhadap sistem metabolisma tubuh
manusia. Warna biru muda juga mempunyai rahasia tersendiri berkaitan
dengan rejeki dan cara berkomunikasi. Mereka yang masih tertidur nyenyak
pada waktu Subuh akan menghadapi masalah rejeki dan komunikasi.
Mengapa? Karena tiroid tidak dapat menyerap tenaga biru muda di alam
ketika roh dan jasad masih tertidur. Pada saat azan subuh berkumandang,
tenaga alam ini berada pada tingkatan optimum. Tenaga inilah yang
kemudian diserap oleh tubuh kita terutama pada waktu ruku dan sujud.”
“Waktu
Duhur, alam berubah menguning dan ini berpengaruh kepada perut dan
sistem pencernaan manusia secara keseluruhan. Warna ini juga punya
pengaruh terhadap hati. Warna kuning ini mempunyai rahasia berkaitan
dengan keceriaan seseorang. Jadi bagi mereka yang selalu ketinggalan
atau melewatkan sholat Zuhur berulang kali akan menghadapi masalah dalam
sistem pencernaan serta berkurang"
Saya takjub campur
bingung membaca paragraf-paragraf diatas. Di buku dan jurnal mana ya
yang telah sangat ekstensif menelaah hubungan warna dengan fungsi
fisiologis dan psikologis manusia. Tak ada satupun penjelasan dalam
buku-buku fisiologi kedokteran standar semacam Ganong atau Guyton yang
coba saya cari tentang hubungan warna biru muda dengan metabolisme
kelenjar di tiroid. Atau warna kuning dengan sistem pencernaan, juga
keceriaan. Soal keceriaan dan warna-warni ini mungkin kawan psikolog
bisa memberi penjelasan. Apalagi hubungan warna oranye dengan sistem
reproduksi manusia pada bagian lain dari artikel itu.
Saya
pun coba mencari paper penelitian-penelitian yang terkait dengan
beberapa fakta yang diklaim ilmiah ini namun sama sekali tak
menemukannya satu pun. Saya sangat berterima kasih sekali jika ada yang
bisa mengirimkan referensi untuk mengobati kebingungan saya ini.
Artikel
serupa ini menurut saya agak sedikit berbahaya karena menggunakan nama
“Islam” namun tidak disertai data dan fakta ilmiah yang benar, bahkan
bisa jadi tidak punya dasar sama sekali. Bagaimana jika informasinya
salah? Tentu saja bukan Islamnya tapi hal yang diklaim sebagai fakta
ilmiah itu. Bagaimana kalau itu lalu dianggap orang sebagai kebenaran?
Saya
kira kita harus belajar dari kesalahan gereja Katolik di abad
pertengahan yang terlalu dalam mengintervensi kebenaran sains agar cocok
dengan ajaran teologis mereka. Gereja bersikukuh menyatakan bahwa bumi
datar, dia punya ujung, tidak bulat, dan mataharilah yang bergerak
mengelilinginya. Mereka yang menolak paham itu dicap berdosa, heretik
dan dikucilkan oleh gereja. Pada zaman itu dikucilkan gereja berarti
mendapat hukuman yang sangat berat.
Tapi kita semua tahu
bahwa hasil-hasil penelitian ilmiah selanjutnya di bidang astronomi dan
fisika yang telah dirintis oleh ilmuwan yang sempat dikucilkan gereja,
Galileo Galilei menunjukkan fakta sebaliknya. Gereja salah, bumilah yang
berputar mengelilingi matahari. Demikian pula fakta-fakta bahwa bumi
itu bulat, tidak datar, akhirnya dibuktikan oleh para penjelajah eropa
semacam Columbus yang menggunakan prinsip itu untuk menemukan benua baru
Amerika.
Memaksakan penjelasan yang dianggap saintifik
terhadap fenomena atau ritual agama boleh jadi malah tidak membuat agama
menjadi lebih saintifik. Kalau tidak hati-hati akan berubah menjadi
lelucon yang tidak lucu, seperti soal warna-warna diatas dan fungsi
fisiologis tubuh dihubungkan dengan waktu shalat. Lebih mirip penjelasan
dalam ramalan bintang atau primbon. Saya tertarik ucapan Einstein yang
dikutip dalam buku John C. Lennox, God and Stephen Hawking, sebuah buku
bagus yang ditulis seorang ahli filsafat sains dari Pitsburg University.
Buku ini ditulis untuk menyanggah kerancuan filosofis dalam buku
Hawking, "The Grand Design" yang berujung pada kesimpulan bahwa tak
mungkin ada peran Tuhan dalam penciptaan alam semesta.
Einstein
mengatakan bahwa dalam hubungan Sains dan Agama, dia mengambil posisi
bahwa Agama bisa memberi fondasi moral bagi sains, karena ya, memang
sains bukan soal baik dan tidak. Tapi tidak bisa sebaliknya, kita
tidak bisa memaksakan untuk membuat landasan santifik terhadap moral
agama, dan saya kira juga beberapa fenomena keagamaan. Sains tidak perlu
terlalu dipaksakan memberi penjelasan atas banyak hal dalam agama yang
memang cuma bisa diterima oleh iman.
Akhirnya tulisan
lepas ini mungkin sekedar atau semacam refleksi pribadi saja agar
mungkin kita bisa berhati-hati agar terlepas dari jebakan "cocoklogi"
yang menurut saya kurang pantas dilakukan dengan menghubung-hubungkannya
dengan agama agung yang kita anut, islam.
(Kanazawa 90515)