Saya
pernah bertanya pada seorang kawan selab yang kebetulan juga seorang
dokter di Kanazawa. Dia kini menjalani studi S3 nya sambil bekerja di
salah satu rumah sakit distrik. Di Jepang, spesialisasi apa sih yang
paling banyak diinginkan seorang dokter yang baru menyelesaikan
pendidikan dokter umumnya? Di Indonesia kata saya, spesialisasi dengan
tindakan seperti kebidanan dan bedah dengan segala subspesialiasinya
adalah yang terfavorit, walau di beberapa center biaya pendidikannya
cukup mahal. Bagaimana dengan Jepang, tanya saya lagi?
Hmmm,
Obgyn agak kurang menarik disini bagi beberapa orang dokter. Sangat
sedikit perempuan yang hamil dan melahirkan. Hehehe. Kau tahu kan,
pertumbuhan penduduk kami sangat rendah bahkan cenderung negatif setiap
tahunnya. Lebih banyak lansia ketimbang anak-anak. Spesialisasi dengan
intervensi pisau bedah juga profesi yang beresiko bagi beberapa orang,
jika tidak benar-benar pintar dan ahli maka setiap saat kita bisa
dituntut oleh pasien jika melakukan kesalahan.
Saya tentu
saja tak sepenuhnya percaya jawaban teman saya diatas, baru satu sampel
dari begitu banyak dokter yang ada disini. Tapi ada satu poin penting
yang menarik bagi saya dari penjelasannya itu, soal “resiko” sebagai
seorang dokter. Agak menarik bagi saya jika hal itu dirisaukan, di
negara maju seperti Jepang ini segala macam peralatan dan pemeriksaan
canggih yang akan membantu pekerjaan seorang dokter tersedia. Mereka
bisa bolak balik melakukan pemeriksaan canggih dan mahal untuk suatu
tindakan sederhana. Sistem rujukan dan kegawatdaruratannya pun sudah
sangat maju.
Dan pengetahuan? Sekedar ilustrasi sederhana,
dalam suatu festival kampus beberapa saat yang lalu, saya agak
terkesima. Beberapa mahasiswa kedokteran menunjukkan cara melakukan
kateterisasi jantung dan juga cara melakukan endoskopi pada pengunjung.
Mereka melakukannya pada manekin dengan alat sungguhan, menyerupai
simulasi pada saat itu dilakukan dalam ruang tindakan lengkap dengan
monitornya. Dan pengunjungnya, bukan mahasiswa kedokteran atau dokter
tapi masyarakat kota Kanazawa, orang awam yang datang berkunjung seperti
piknik dengan kanak-kanaknya. Hal diatas, mungkin agak jarang kita
jumpai di Indonesia, seumur-umur pendidkan kedokteran saya dulu, belum
pernah sekalipun saya melihat kateterisasi jantung itu seperti apa,
bahkan hanya simulasi.
Lalu mudahkah masuk Fakultas
Kedokteran di sini, seorang kawan saya di lab Epidemiologi pernah
bercerita tentang adiknya. Tahun ini akhirnya adiknya itu diterima jadi
mahasiswa kedokteran di Universitas di prefektur mereka. Sebuah
perjuangan panjang setelah 3 tahun mengikuti ujian dan tidak pernah
lulus-lulus. Padahal bapaknya salah seorang professor disana. Dan itu
“private university” ya, saya kurang tahu persaingan untuk masuk
universitas negeri, tapi pasti lebih ketatlah karena di Jepang, kampus,
Fakultas kedokteran dan Rumah sakit terbaik umumnya berstatus negeri
yang berada di tiap distrik.
Terus apa kaitannya seluruh
cerita ini dengan dokter Indonesia? Beberapa hari ini saya
berbincang-bincang dengan istri tentang topik yang sama. Topik yang agak
berat. Awalnya dia mengirimkan link berita tentang putusan MK menolak
“judicial review” yang dilakukan beberapa dokter atas UU Praktek
kedokteran khususnya bagian yang terkait dengan pemidanaan dokter.
Dengan tertolaknya uji materi tersebut maka kembali seperti sebelumnya,
seorang dokter bisa langsung dilaporkan ke polisi tanpa harus melewati
MKDKI. Sebagai neurologis, dia agak khawatir.
Apa yang
dipikirkan istri saya, mungkin serupa yang dipikirkan banyak
dokter-dokter Indonesia saat ini, kasus serupa “dokter ayu” bisa dengan
mudah terjadi lagi. Itu sudah jadi preseden, karena proses hukumnya
sudah pernah terjadi. Dokter ayu mungkin beruntung, tapi bisa jadi hal
yang sama tidak akan terjadi lagi pada kasus-kasus yang berbeda. It’s a
matter of time.
Ada yang berpendapat, penolakan MK diatas
biasa saja, tidak akan mengubah banyak hal. Bekerja saja sesuai panduan,
pada SOP yang benar. Tapi ada satu hal yang tak bisa dilupakan bahwa
sebagian besar dokter kita akan sangat rentan sekali jika dipaksa harus
taat dengan sangat “ketat dan kaku” pada panduan, walau tentu saja itu
harus dilakukan. Saat terlibat dalam tim revisi panduan praktek
pelayanan dokter primer tahun lalu, kegiatan kerjasama PB IDI dan
Kemenkes, ada satu pertanyaan besar muncul saat kami mereview ulang
penyakit-penyakit dalam list itu dan menambahkan penyakit baru sebelum
direvisi akhir oleh masing-masing kolegium keilmuan dan dianggap final.
Benarkah konten penyakit-penyakit ini bisa dikerjakan oleh rekan-rekan
dokter layanan primer di daerah sampai pada level seperti yang kita
tuliskan?
“Tapi itu kan cuma turunan standar kompetensi
dokter Indonesia (SKDI), dokter umum yang sudah lulus ujian kompetensi
harus tahu dong!”. Iya benar, tapi ada beda antara pendidikan kedokteran
dan pelayanan kedokteran. Pelayanan tidak hanya membutuhkan pengetahuan
dan skill namun juga peralatan, fasilitas yang memadai, obat-obatan
termasuk kemudahan transportasi untuk rujukan dan terakhir pembiayaan.
Dan kita paham bersama fasilitas pelayanan kedokteran kita belumlah
setara antara satu tempat dengan tempat lainnya. Saya jadi ingat saat
istri saya PTT di salah satu pulau di Sulawesi Tengah, pasien perdarahan
antepartum, tak bisa ditolong dokter umum, segala cara telah dilakukan
untuk membuat sang pasien stabil, tapi tak bisa segera dirujuk, harus
menunggu kapal datang keesokan paginya. Esoknya, pasien dirujuk namun
sampai di pelabuhan kota tujuan dia pun meninggal dunia.
Dalam
sebuah kunjungan kami ke salah satu kabupaten di Jawa Barat terkait
panduan diatas, beberapa sejawat dokter umum protes tentang test
tuberkulin untuk diagnosis TB Anak dalam buku itu. Mereka memilih
merujuk pasien saja jika harus pake test tuberkulin untuk menegakkan
diagnosis TB anak, padahal panduan penegakan diagnosis dengan skor IDAI
ya harus uji tuberkulin. Mereka memilih tidak mengadakannya di layanan
primer mereka karena itu berarti harus mengadakan ”ice cold storage”,
lalu si vaksin mahal dan bisa jadi akan menggerus kapitasi mereka,
selain kadang susah didapatkan. Untuk fasilitas layanan primer di kota,
boleh jadi tak ada masalah, bagaimana jika fasilitas kesehatannya jauh
dan terpencil.
“Hmmm, tapi kan ada pengecualian bagi
daerah yang memang SDM dan fasilitasnya sangat terbatas. Mereka tidak
akan kita paksakan dan itu tertulis dalam buku ini!” Yup, tapi adakah
pengecualian dalam kaca mata hukum? Ini sebuah pertanyaan penting untuk
didiskusikan bersama karena terkait dua aspek berbeda. Bisakah keluarga
pasien, pengacaranya, polisi, jaksa, hakim dan sistem hukum kita
mengerti bahwa banyak fasilitas kesehatan di republik ini yang tidak
mempunyai peralatan yang cukup memadai untuk bisa memberi terapi terbaik
bagi sang pasien, dan jika sang pasien tak tertolong, saya kira terlalu
kejam jika kesalahannya hanya ada pada sang dokter.
Akhirnya
pertanyaan diatas tetap menggantung dan kami sepakat dengan jawaban
sementara bahwa panduan itu diharapkan juga bisa mendorong perbaikan
sistem layanan kesehatan kita, termasuk pegadaan SDM, fasilitas dan
peralatan, obat-obatan agar sebuah penyakit bisa diterapi dengan standar
yang baik.
Saya selalu mengatakan pada teman-teman saya
bahwa ya, seperti seluruh profesi, selalu ada hal baik dan buruk disana.
Namun saya tetap ingin berprasangka baik bahwa sungguh tak ada dokter
yang ingin pasiennya celaka. Dokter akan selalu member layanan terbaik
yang mereka bisa sesuai pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.
Dan menurut saya dokter kita hebat-hebat bisa melakukan itu dengan
segala keterbatasan fasilitas yang ada. Jangan dibandingkan dengan
fasilitas Jepang diatas ya. Hehehe
Lalu apa yang harus
dilakukan? Tak ada peninjauan kembali atas keputusan MK. Tinggal
berharap ada desakan kepada pemerintah dan penegak hukum untuk memberi
perlindungan bagi profesi ini lebih baik lagi, ada yang bilang bisa
dengan mendorong revisi UU itu dan diajukan kembali ke DPR, tapi saya
kira prosesnya akan sangat panjang dan melelahkan, tapi ini bagi saya
layak diperjuangkan.
Keputusan itu juga pesan serius bagi
institusi pendidikan kedokteran di seluruh Indonesia untuk
bersungguh-sungguh mendidik dan meluluskan mahasiswanya dengan
kompetensi yang memadai. Meluluskan dokter dengan kualifikasi tidak
mencapai standar akan sama saja dengan melemparkan mereka ke mulut buaya
di masa depan. Organisasi profesi pun demikian, harus lebih serius
memberi pembinaan bagi anggotanya lewat kegiatan CME yang berkualitas
dan kita pun, para dokter harus menyediakan waktu untuk memperbaharui
dan mengupdate keilmuan kita. Satu hal pasti, setelah semua ini,
tantangan dunia kedokteran Indonesia tidak akan semakin mudah.
(Kanazawa, 260415)