Apa
jadinya jika ada langgam yang dianggap pakem dalam merayakan secangkir
kopi. Taruhlah yang dianggap cara “ngopi” yang baik dan benar cuma kopi
yang disajikan ala Italia misalnya. Cappucchino, espresso, moccachino
dan lainnya, pasti akan dianggap kopi yang paling sahih, diluar itu
adalah kopi terlarang dan penikmatnya dianggap penikmat kopi heretik.
Ya, mereka melawan fatwa yang menjunjung kemurnian dan keadiluhungan
kopi.
Taruhlah jika fatwa serupa itu ada, saya langsung teringat kawan saya Ahmad Syamsuddin yang tinggal di sekitar pasar Ciduk di daerah Tinumbu, Makassar sana. Dia terbiasa menikmati kopi selepas subuh di warung kopi depan rumahnya ditemani buroncong, kue dadar dan roti kukus serta yang paling penting tembakau linting. Tembakau yang jika dibakar, baunya masya Allah, campuran cengkeh yang manis, tembakau yang tajam dan juga teringat aroma kakek saya yang mengisap tembakau serupa. Dia, kawan saya ini tidak menyesap kopi italia. Tapi secangkir kecil kopi hitam yang diracik, direbus dan disaring bertubi-tubi hingga yang tersisa hanya sarinya. Secangkir kecil kopi hitam yang saat kau sesap, aromanya seolah menguap semua ke dalam batok kepalamu, menghidupkan setiap inchi dari sel otakmu, seperti pukulan lembut palu godam.
Ngopi bagi kawan saya yang berprofesi sebagai jurnalis ini adalah semacam ritual. Selepas subuh itu katanya, kau bisa memetik banyak hikmah, berbincang tentang apa saja sambil ngopi. Bisa soal iman dengan mereka yang baru pulang dari masjid shalat subuh dan singgah di tempat itu. Dan saya bayangkan betapa lezatnya iman yang dibicarakan dengan secangkir kopi yang baik. Sehangat-hangat perbincangan, pada momen serupa itu tak akan ada yang bersuara melengking, dengan mata melotot dan urat leher menegang, lalu memaki yang lainnya, “Caramu ngopimu tak baik , itu tak serupa ajaran ngopi yang murni, hentikan!”
Tapi bukan cuma soal akhirat yang kerap dibincangkan di tempat ini, kata teman saya itu. Saat subuh agak bergeser sedikit ke pagi, pembicaraan akan berubah. Kali ini kopi akan menemani mereka yang datang sambil memamerkan batu akik, korek zippo dan segala hal yang mungkin akan ajaib untuk dikoleksi di zaman ini. Orang bakal betah berjam-jam berkisah tentang sepotong korek zippo yang warnanya peraknya sudah pudar, memainkan tutupnya sambil menikmati denting logam yang berbunyi dari sana. Ah, mereka menikmatinya dengan orgasmik.
Di sudut meja yang lain anak-anak muda dengan terkantuk-kantuk berkumpul. Mereka membincangkan topik yang lain, biasanya tentang sepakbola yang mereka tonton tadi malam. Riuh, seolah semalam itu mereka juga ada stadion, saling meledek tanpa henti, mungkin pikirnya dengan itu skor bisa berubah. Dan saat capek berdebat, mereka menyesap kopinya dan sepakat “Bola memang bundal!”
Tentang kopi, betul ungkapan bahwa ia adalah kawan yang sungguh tak akan berkhianat. Jika kau pecinta MU, Arsenal, atau Liverpool maka saat gelaran final piala Champion nanti, kau bisa berpura-pura suka-suka salah satu tim, Juve atau Barcelona (meski saya sarankan mendukung Juve saja, Barca terlalu mainstream). Tapi kau tidak bisa berpura-pura untuk mencintai kopi kalau memang kau tak ingin. Tak bisa berpura-pura membencinya padahal kau sangat mencintainya, karena dia akan setiap saat memanggilmu datang lewat sakit kepala yang tak terkira nyerinya.
Dan bukan cuma soal iman, bola, batu akik dan korek zippo yang akn habis dibedah sambil ngopi di tempat keramat seperti warkop. Dulu, nasib cinta beberapa kawan semacam kak Boge' atau kanda Jun biasanya akan tuntas di analisis di tempat-tempat itu, menghabiskan bercangkir-cangkir kopi. Membahas segala strategi yang mungkin untuk memenangkan hati pujaan hati. Di zaman itu, jomblo sungguh sangat mirip panu, agak sedikit bikin risih. Harus segera disembuhkan. Sayangnya hingga akhir perbincangan, tak ada solusi yang benar-benar bisa bekerja. Semuanya gagal. Hingga kemudian semua akan tiba pada satu kesimpulan: “Jodoh di tangan Tuhan, sabar saja menunggu, dia akan datang dengan sendirinya jika itu takdir”. Kita bisa berdebat soall republik ini tanpa habis tapi soal jomblo kadang diluar kekuasaan manusia. Malam-malam seperti itu akan selalu panjang dan berujung beberapa orang harus mengetuk pintu rumah hampir satu jam menjelang subuh, sebelum dibukakan oleh istri tercinta dengan wajah cemberut. (Jadi ingat ekspresi istriku kalau ijin, dek mau keluar ngopi dulu sebentar, ada Boge' datang. Bawami kunci pale' kalau begitu. Hahaha)
Kembali ke soal langgam kopi. Seandainya memang ada satu atau sebutlah beberapa langgam ngopi yang baik dan benar saja diakui, maka ada satu kawan saya lagi di Australia sana yang hidupnya susah, Abdullah Sanusi. Saya kira kesukaannya pada kopi sachet plus Marloboro Gold akan membuatnya bisa dicap sebagai pelaku “bid’ah”, menambah-nambah hal yang tak pernah ada dalam langgam minum kopi yang benar. Kopi sachet, tak pernah diriwayatkan dan dicontohkan oleh pendahulu kita. Walau untuk saya dan Ahmad Syamsuddin, kopi Sachet, hmmmm, sukar dijelaskan, lebih pas dicibir. Indonesia adalah salah satu negara penghasil biji kopi terbaik di planet ini dan pilihannya kopi sachet, waduh, Itu bukan teman kami kayaknya.
Saya pun akan susah tentu saja, sampai sekarang, saya menganggap kopi yang yang paling “sahih” adalah kopi hitam yang punya ampas diseduh dengan air mendidih 98 derajat, lebih sedikit dan tak boleh kurang dari itu. Namun saya sadar bahwa orang punya hak untuk suka kopi yang dihidangkan tanpa ampas, ataupun kopi yang tidak berwarna hitam dan kental, bahkan pada akhirnya sah-saja saja jika mereka mencintai kopi sachet seperti kawan saya Abdullah Sanusi diatas. Untunglah kawan saya Dul ini masih suka kopi yang ada Caffein-nya walaupun sachetan, coba kalau memilih “Decaffeinated coffe”. Hmmm, walaupun saya paham usia mungkin telah memaksa beliau lebih memperhatikan kesehatan lambungnya.
Untungnya menyukai satu cara menikmati kopi tak perlu dihukumi menyerupa-menyerupakan cara orang barat menikmati kopi. Atau tidak perlu dianggap menumbuhkan semacam “ashabiyah”, mencintai hanya satu jenis dan cara minum kopi yang dianggap paling benar. Walau untuk ini saya harus mengaku bahwa bicara soal jenis kopi, saya percaya bahwa kopi terbaik adalah kopi arabika Toraja yang dipilih ibu saya, biasanya dia pesan khusus ke orang kampung dan dia sangrai sendiri dengan api dari kayu bakar.
Ahh, maaf untuk kawan yang dari kemarin hingga hari ini terus saja menautkan berita tentang perdebatan soal langgam membaca Al Qur’an ke wall saya, saya agak kurang tertarik membahasnya atau berdebat tentang itu. Saya lebih suka membahas soal langgam menikmati kopi. Selain saya memang tak punya ilmu tentang langgam-langgaman bacaan Qur’an itu. Saya tidak tahu membaca Al Qur’an dengan langgam tertentu, saya baca lurus saja, yang penting cara bacanya benar dan yang paling penting setidaknya ada yang saya pelajari dan saya amalkan dari sana. Tapi saya tidak ingin mempersoalkan kalau ada yang sepakat, toh mereka punya alasannya masing-masing, yang tidak sepakat pun demikian, selama tidak saling mengkafirkan saja. Seperti kadang-kadang kebiasaan buruk kita akhir-akhir ini. Hehehehe. Daripada meributkan soal langgam ini bagaimana jika kita ngopi saja, dengan saya anda bebas ngopi dengan langgam apa saja. Mari ngopi yang sehat.
(Kanazawa, 210515)