Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Kisah-kisah Pengabdian Dokter UNHAS

Ada satu hal yang tidak pernah berani saya tulis-tulis terkait dengan kehidupan dokter. Soal PTT. Saya merasa tidak punya kapasitas, tidak beruntung punya pengalaman untuk yang satu ini. Selesai dokter, luntang-lantung beberapa bulan di klinik 24 jam Jakarta, test dosen, keterima dan jadilah saya tidak pernah merasakan sesuatu yang bernama PTT itu.

Saat kawan-kawan bercerita tentang kehidupan PTT yang rasanya sangat heroik itu. Kadang jadi cemburu juga. Tentang PTT ini, saya lalu jadi ingat dr Isra Wahid, dosen Parasitologi, Peneliti  demam berdarah di NHCRI. Saat itu kami sama-sama di Sumba terlibat dalam sebuah penelitian malaria. Beliau selalu membuat saya takjub saat bercerita tentang kisah PTT-nya. Kebetulan beliau PTT di Mambi, Mamasa. (Sekarang Sulawesi Barat). Daerah yang saat itu, katanya, jalanannya cuma bisa dilalui oleh kuda kalau tidak dengan jalan kaki. Medannya pun berbukit-bukit. Tidak usah ngomongin listrik ada atau tidak. Hehehe.

Beliau akhirnya memutuskan untuk punya kuda juga. Jadi saat, mengunjungi masyarakat, memberikan layanan kesehatan yang sangat jauh pun dilakukan dengan naik kuda. Saya bayangkan kurang topi, sepatu dan sabuk pistol di pinggang saja, beliau akan jadi lebih mirip koboi ketimbang dokter. Saat berkunjung, masyarakat sudah akan mengenal suara kudanya dari jauh. “Ah, pak dokter datang”. Orang-orang sekampung pun langsung berkumpul menyambut beliau. Dokter koboi. Saking cintanya sama kuda, di Makassar sekarang, beliau tetap punya kuda peliharaan loh. Hehehe

Tapi ada satu cerita yang membuat saya bergidik dari cerita beliau ini. Sebenarnya tentang teman dokternya yang lain. Wilayah PTT nya sama di Mamasa, tapi di puskesmas berbeda. Katanya, suatu ketika di puskesmas temannya itu ada yang meninggal. Pasiennya tinggal agak jauh dari puskesmas. Dibawa ke puskesmas saat kondisinya telah parah dan tak banyak yang bisa dilakukan dokter untuk menolongnya. Setelah menyampaikan kabar kematian sang pasien, dokternya kemudian menyuruh keluarga membawa pulang jenazahnya. Tapi keluarganya bilang,nanti-nanti saja dok, tunggu agak gelap. Si dokter heran loh kok malah tunggu gelap. Keluarga yang lain juga malah pada pulang, tinggal dua orang saja laki-laki. Mungkin mereka pulang memanggil keluarganya yang lain agar si jenazah mudah diusung, begitu pikir si dokter.

Si dokter pun meninggalkan ruang puskesmas ke rumah dinasnya disamping Puskesmas untuk siap-siap sholat maghrib. Dan alangkah kagetnya dia, selesai wudhu, dari balik jendela dia melihat jenazah yang tadi terbujur kaku diatas dipan Puskesmas, sekarang melompat-lompat mengikuti kedua penunggunya itu. Macam vampir china dalam film-film saja katanya. Antara percaya dan tidak. Dan memang, di daerah Mamasa dahulu sekali, konon katanya ada beberapa orang tertentu yang bisa memperjalankan orang mati. Bayangkan sebagai dokter bertugas di tempat dimana nuansa mistis seperti itu sangat kental, wah. Masih berani? Hehehe. Untuk yang satu ini ada teman saya punya cerita yang lain saat mereka, suami istri, PTT di pedalaman Kalimantan, mereka juga sering menemukan hal yang kadang di luar akal sehat. Nanti saja mungkin mereka akan tuliskan sendiri.

Kisah yang agak mistis diatas, sebagian saja dari banyak cerita yang mungkin pernah dialami oleh mereka yang pernah bertugas di tempat yang jauh dan terpencil. Saya kok malah memberi contoh cerita seram, maafkan. Hehehe.Tapi yang pasti banyak cerita unik lainnya, cerita yang lucu, getir, menegangkan yang mungkin jika diingat-ingat lagi akan membuat kawan-kawan  tersenyum, mungkin tertawa terbahak-bahak atau malah meneteskan air mata. Dan entah kenapa kemarin saya kok terpikir, gimana ya kalau kisah-kisah luar biasa yang mengiringi pengabdian teman-teman itu dikumpulkan, lalu dibukukan. Ternyata idenya juga bersambut oleh dua orang senior yang beberapa hari sebelumnya malah telah berjumpa untuk membincangkan hal yang sama. Beliau, dokter Irfan "Sinovia" dan dokter Maisuri, Sp.OG.

Saya kira fragmen-fragmen yang mewarnai pengabdian kawan-kawan, senior-senior dan adek-adek di seluruh pojok Indonesaia sangat berharga untuk diwartakan pada khalayak ramai. Pada masyarakat awam kita perlu menujukkan, bahwa begini loh kehidupan dokter diluar sana. Tidak selalu mudah. Di pelosok terpencil, mereka berjuang melayani si sakit dengan seluruh keterbatasan fasilitas dan tenaga. Kadang tempatnya tak ada listrik. Susah air bersih. Gaji datang tidak teratur. Mereka meninggalkan keluarga di tempat yang jauh. Belum lagi ancaman penyakit yang bisa setiap saat merenggut nyawa mereka. Seperti yang dialami oleh saudara kita almarhum dokter Danny Elya yang nyawanya direnggut malaria di Papua sana.

Kisah ini juga menurut saya penting untuk adik-adik mahasiswa kedokteran kita agar mereka tetap selalu terhubung dengan realitas. Ini loh dunia riil, masyarakat lengkap dengan kultur dan kebiasaannya yang suatu ketika akan mereka layani sebagai dokter. Kenyataan di dunia nyata tidaklah sesederhana dan sesunyi apa yang dituliskan dalam teksbook atau mungkin diajarkan di ruang-ruang kuliah atau laboratorium di kampus. Mereka harus belajar lebih banyak lagi melampaui hal-hal biasa yang selama ini jadi rutinitas mereka dengan juga belajar dari kehidupan. Belajar dari orang-orang yang telah mendahului mereka mengabdi dalam profesi kemanusiaan ini.

Jadi teman-teman sejawat semuanya, bersiap-siaplah menjadi kontributor. Kesepakatan awal dengan beliau-beliau diatas, silahkan kirimkan artikel teman-teman. Kita tidak ingin membatasi kisah pengabdian ini pada mereka yang PTT saja, tapi semuanya. Sempat ada yang ingin mengirim kisahnya bertugas sebagai dokter bencana atau mereka yang melanglang buana di daerah konflik. Mungkin juga ada yang ingin mengirim cerita dari tanah-tanah jauh di Afrika sana. Atau dari rig-rig sunyi ditengah samudera. Dari laboratorium yang terang benderang namun hening. Dari penjara atau dari tempat rehabilitasi pecandu narkoba. Dari rumah sakit atau dari kampus. Dan lain sebagainya. Pokoknya ditunggu kisahnya.

Saat ini sedang dirancang semacam “official leaflet” tentang kemana nanti tulisan itu dikirimkan. Mungkin juga tenggat waktu agar  editor bisa merapikan draftnya, selain itu agar bisa dicetak dan dilaunching tepat pada momen spesial, mungkin Dies Natalis atau juga PIB. So don’t miss it.