Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Dokter "Aspal" dan Evidence Based Medicine

Apakah anda tahu dr. Oz? Ya, dokter Oz yang terkenal itu dengan TV show-nya tentang kesehatan dan tips-tipsnya, dr Oz show. Penonton acara dr Oz sangat banyak, termasuk buku yang dia terbitkan. Si dokter telah berubah menjadi pesohor yang superkaya dan majalah times pada tahun 2008 menobatkannya jadi salah satu orang berpengaruh di dunia. Di Indonesia sendiri acaranya pun diduplikasi oleh salah satu TV swasta kita dengan judul yang hampir sama, bedanya, di sini hostnya adalah dokter Indonesia.

Dr. Mehmet Oz sendiri adalah seorang dokter bedah thoraks dan kardiovaskular dari Columbia University di Amerika. Tapi saya tidak ingin berpanjang-panjang bercerita tentang kisah sukses beliau. Bagian yang justeru  menarik bagi saya adalah peristiwa yang terjadi sekitar bulan April tahun ini. Saat itu ada sekitar 10 orang dokter di Amerika yang mengeluarkan semacam petisi kepada Columbia University untuk mencabut keanggotaan dokter Oz dari departemen bedah thoraks dan kardiovaskuler universitas itu. Dokter Oz melalui acara-acaranya dianggap mempromosikan pengobatan dan produk yang tidak punya dasar ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan atau tidak punya Evidence Based Medicine (EBM).

Protes itu utamanya memuncak saat dr. Oz dalam sebuah acara TV nya memberikan komentar yang dianggap terlalu berlebihan dan melecehkan sains saat menyebut sebuah produk suplemen yang dibuat dari ekstrak kopi sebagai sebuah formula ajaib untuk menurunkan berat badan. Alhasil penjualan produk itu pun meroket dengan tajam, padahal efek dari suplemen itu ternyata belum terbukti. Belum ada penelitian klinis yang dibuat terhadap suplemen ini.

Saking pentingnya persoalan ini, dr. Oz pun diundang dalam sebuah rapat dengar pendapat oleh Senat America. Dia dianggap menyebarkan isyu yang bisa membahayakan publik.  Dengan pernyataan seperti itu dari seorang ahli, publik akan cenderung mencari jalan pintas yang dianggap mudah terhadap masalah kesehatan yang dialaminya. Dan Juni tahun ini juga, Asosiasi Dokter Amerika (American Doctor Association/AMA) juga angkat bicara dan menyorot dokter oz, dokter Oz dianggap telah melakukan tindakan pelanggaran integritas professional dengan tindakannya tersebut.

Evidence Based Medicine

Nah inti dari protes keras yang dilancarkan oleh para dokter, anggota senat dan juga asosiasi dokter Amerika diatas bermuara pada satu istilah, Evidence Based Medicine. Dr Oz dianggap mempromosikan pseudoscience bagi publik. Itu dianggap bertentangan dengan dasar ilmu kedokteran modern yang diajarkan di fakultas-fakultas kedokteran dan juga dipraktekkan di Amerika. Lalu apa sebenarnya EBM itu?

Evidence Based Medicine atau bisa diartikan sebagai kedokteran berbasis bukti, pertama kali diperkenalkan oleh dokter Archie Cochcrane dari Cardiff University pada tahun 1972. Lalu kemudian terbentuk kolaborasi antara Cardiff, Duke University di Amerika dan McMaster University di Canada untuk mempromosikan konsep ini pada sekitar tahun 1980-an. Dan hingga kini konsep EBM bisa dikatakan telah menjadi “core” dari pembelajaran dan juga aktifitas kedokteran modern di seluruh dunia. Nama penggagas konsep ini kemudian dijadikan nama data base dari sebuah website yang dibuat di Oxford university, Cochcrane Collaboration Database, untuk mengumpulkan dan melakukan review sistematis terhadap seluruh hasil-hasil penelitian uji klinis yang pernah dilakukan.

Definisi EBM, disini saya mengambilnya dari National Institute of Health (NIH), “ EBM is the process of systematically reviewing, appraising and using clinical research to aid the delivery of optimum clinical care to patient”. Kata kunci dari istilah ini ada pada clinical research. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa EBM adalah sebuah upaya melakukan penilaian sistematis terhadap hasil-hasil penelitian uji klinis yang kemudian digunakan untuk memberikan terapi terbaik bagi pasien.

Konsep EBM ini pada awal-awal kelahirannya pun tidaklah mudah, dalam memoar dokter Cochcrane, konsep ini awalnya disambut dengan kurang ramah, terutama dari para dokter senior yang lebih mengedepankan pengalaman puluhan tahun mereka sebagai dasar pemberian terapi. Namun perlahan-perlahan akhirnya konsep ini akhirnya bisa diterima. Mengapa? Ya, karena ilmu pengetahuan yang lahir dari penelitian-penelitian  kedokteran berkembang dengan sangat cepat.

Mari ambil satu contoh, penggunaan salah satu obat yang disebut kortikosteroid untuk mematangkan jaringan paru pada bayi kurang bulan. Sederhananya seperti ini, pada bayi yang lahir prematur maka paru-parunya belum cukup bisa digunakan bernafas secara normal. Pada bayi  yang paru-parunya belum matang tersebut akan mengalami sesak dan jika tidak mendapatkan penanganan intensif yang memadai, maka bisa sangat berbahaya dan bisa segera berujung pada kematian. Nah penelitian uji klinis tentang kortikosteroid untuk pematangan ini sebenarnya telah ada sejak 1972,  lalu ada 6 lagi penelitian uji klinis yang dipublikasikan antara tahun 1972 sampai 1989.Pada tahun 1989, ada review systematis pertama atas penelitian-penelitian tersebut. Dan pada sekitar tahun 1989 hingga 1991 ada lagi sekitar 7 studi yang mendukung pemberian obat ini untuk mematangkan fungsi pematangan paru bayi premature.

Malangnya, pemberian kortikosteroid tersebut baru dimulai pada sekitar awal tahun 2000-an. Jadi bayangkan sejak pertama hasil uji klinis tersebut ditemukan dan mulai digunakan, ada rentang berapa tahun. Bayangkan berapa ribu bayi-bayi prematur yang bisa diselamatkan jika pengetahuan ini bisa diaplikasikan segera.

Mengapa harus EBM?

Mengapa sih dokter sekarang sedikit-sedikit bicara tentang EBM jika ada tindakan atau modalitas pengobatan baru? Mengapa tidak langsung dipakai saja? Saya jadi teringat saat heboh buah merah dari Papua yang diklaim bisa membunuh virus HIV, penyebab penyakit AIDS. Penderita AIDS yang katanya telah bersih dari virus HIV  karena mengkonsumsi buah merah itu pun diterbangkan dari papua untuk memberikan testimoni di televisi. Dan seketika popularitas buah merah pun meroket. Buah merah diburu dan saat itu harganya menjadi sangat mahal.

Tapi kita bisa lihat sekarang, bahwa fenomena buah merah pun surut drastis. Pasien AIDS yang pernah memberikan kesaksian tentang buah ini, dari berita terakhir yang saya baca ternyata tidak beruntung. Dia meninggal karena komplikasi dari dari penyakit AIDS yang dideritanya.

Kembali ke pertanyaan diatas, kok dokter sampai sebegitunya ya. Tentu saja, karena ilmu kedokteran tidak dibangun atas dasar testimoni dan pengakuan semata. Sebelum sebuah obat baru, tindakan baru digunakan dalam praktek kedokteran secara luas, terlebih dahulu harus dilakukan serangkain penelitian dasar dan klinis panjang untuk membuktikan benarkah obat atau tindakan tersebut punya manfaat klinis dan yang paling penting harus aman.

Jika kita ambil contoh buah merah diatas, maka ada beberapa pertanyaan yang terlebih dahulu harus dijawab, misalnya seperti apa sih efek buah merah dalam membunuh sel-sel virus? Bagaimana mekanismenya pada level sel hingga mungkin DNA? Apa zat dalam si buah yang bisa membunuh atau menghentikan replikasi virus tersebut? Bagaimana keamanan zat-zat tersebut bagi pasien sendiri? Dan tidak berhenti disitu. Virus HIV adalah virus yang sangat mudah sekali mengalami mutasi. Pertanyaan berikutnya, sejauh mana efektifitas zat aktif dalam buah merah dalam membunuh bermacam-macam strain virus HIV yang muncul karena proses mutasi? Apakah jika diujicobakan pada sel, lalu pada hewan coba hasilnya sama dengan uji pada manusia? Apakah benar efeknya benar-benar karena zat aktifnya ataukah karena kebetulan semata? Pertanyaan terakhir biasanya akan dijawab secara statistik setelah melalui percobaan dan observasi dan tentu saja sebelumnya harus didesain  dengan benar sejak awal.

Pertanyaan-pertanyaan diatas tentu tidak bisa dijawab tanpa melalui penelitian panjang dan bertingkat. Bisa bertahun-tahun dilakukan. Kalau ada yang pernah membaca soal uji klinis ini, ada 4 level yang harus dilalui setelah pertanyaan dasar tentang zat yang akan diuji dan mekanismenya bisa terjawab. Dan regulasi penelitian uji klinis ini teramat ketat. Kita tidak bisa potong kompas misalnya dengan menguji sebuah zat obat baru pada manusia jika pada penelitian pada sel dalam cawan petri atau pada hewan coba, obat itu ternyata tidak punya efek atau bahkan tidak aman. Jika pun sudah sampai pada uji dengan subjek manusia, penelitiannya pun bisa dihentikan jika ditemukan satu saja efek yang berbahaya dari zat tersebut pada subjek.

Jadi tujuan utama mengapa dokter harus berdasar pada bukti ilmiah adalah untuk memberikan pelayanan terbaik dan juga menjamin keamanan terapi pada pasiennya. Saya ambil contoh lain, saat saya sekolah misalnya jika ada pasien tifus maka saya dulu diajarkan untuk memberikan kloramfenikol, salah satu jenis antibiotik sebagai pilihan pertama pada pasien tersebut. Tapi dari penelitian-penelitian terbaru ditunjukkan data bahwa di Indonesia telah banyak ditemukan, resistensi kuman Salmonella typhii, penyebab tyfus, terhadap Kloramfenikol. Ada juga penelitian lain yang dilakukan untuk menguji antibiotik alternatif apa yang bisa diberikan pada kuman yang sudah resisten itu. Jika saya ngotot tetap menggunakan pengalaman dari apa yang pernah saya pelajari dan mungkin berhasil di masa lalu, kira-kira apa yang bisa terjadi?

Dokter dan EBM

Saya mengambil judul artikel ini diatas dari sebuah artikel bagus yang ditulis oleh Prof. Wimpie Pangkahila di Media Indonesia, 18 Juni 2015. Maaf jika agak sedikit sarkastik. Dalam tulisan itu Prof. Wimpie terutama menyoroti perilaku beberapa dokter yang mungkin mirip dokter Oz ini. Bagi beliau, dokter-dokter yang melakukan tindakan atau memberikan terapi yang tidak punya dasar EBM kuat adalah dokter asli tapi palsu. Dia memberikan contoh misalnya ada dokter yang mempromosikan detoksifikasi dengan hanya mencelupkan kaki ke dalam semacam larutan yang katanya bisa mengeluarkan zat racun dari dalam tubuh melalui kaki. Atau juga yang menyuntikkan oksigen pada pasiennya padahal  menurut beliau tindakan itu belum punya cukup bukti ilmiah karena penelitiannya baru dilakukan pada binatang coba.

Ada lagi satu yang menarik tentang  orang yang mengaku dokter dan ramai diperbincangkan dalam sebuah grup yang saya ikuti beberapa saat yang lalu. Pasalnya, dia dengan manisnya menggunakan jas dokter dengan stetoskop di leher, lalu muncul dalam sebuah acara TV Show tentang terapi alternatif.  Tapi anehnya “si dokter” itu  malah memberikan testimoni dan penjelasan tentang penggunaan dan manfaat batu giok untuuk mengobati beberapa penyakit. Saya juga bingung pada kuliah mana itu dipelajari di kedokteran ya? Atau telah ada mata kuliah “Gioklogi” sekarang ini. Bagi Prof Wimpie, perilaku seperti itu adalah perilaku yang tidak pantas, bahkan beliau menulis di artikel itu dengan tegas bahwa dengan melakukan tindakan seperti itu sebenarnya si dokter telah mengubur profesionalitasnya.

Artikel ini mungkin semacam refleksi untuk teman-teman yang sering mencari informasi kesehatan agar lebih kritis dan mau melakukan cross check dari banyak sumber. Selain itu untuk para kawan-kawan dokter, apa yang terjadi pada dr. Oz atau sinyalemen yang ditulis Prof. Wimpie diatas, semoga tidak terjadi pada kita. Pembelajaran seumur hidup (Continuing Medical  Education) dan juga menyisihkan waktu untuk membaca literature-literatur penelitian terbaru menjadi sangat penting dilakukan. Akhirnya mari sama-sama terus belajar.

Sumber bacaan:
  1. Physicians to Columbia University: 'Dismayed' that Dr. Oz is on faculty. http://edition.cnn.com/2015/04/17/health/dr-oz-columbia-letter/
  2. The American Medical Association is finally taking a stand on quacks like Dr. Oz http://www.vox.com/2015/6/13/8773695/AMA-dr-oz
  3. How a fake doctor made millions from ‘the Dr. Oz Effect’ and a bogus weight-loss supplementhttp://www.washingtonpost.com/news/morning-mix/wp/2015/01/28/how-a-fake-doctor-made-millions-from-the-dr-oz-effect-and-a-bogus-weight-loss-supplement/
  4. British Medical Journal (BMJ). Evidence Medicine Workbook. 2003
  5. D.L. Sacket et al. Evidence based medicine: what it is and what it isn't. 1996. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2349778/
  6. Wimpie Pangkahila. Dokter Palsu ataukah dokter asli tapi Palsu? Media Indonesia, 18 Juni 2015.