Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Seandainya Dul Calon Rektor UNHAS

Tentu saja saya sedang tidak berbicara tentang 6 calon rektor yang namanya sudah mulai banyak beredar di koran lokal dan juga banyak disebut dalam pembicaraan kita sehari-hari di UNHAS atau mungkin di Makassar dan akan dipilih oleh para guru besar tanggal 17 Desember nanti. Enam calon rektor dimana masa depan UNHAS kita letakkan di pundaknya, namun betapa kadang-kadang ada keraguan yang singgah, mampukah mereka memenuhi harapan-harapan yang begitu besar. Bisakah mereka mewujudkan janji-janji bombastis yang mereka ucapkan sebelum dipilih jadi rektor.

Pengalaman telah mengajarkan kita menjadi skeptis, dan untuk itu saya kira kita tidak perlu merasa bersalah, kita dosen, akademisi, dan skeptisisme adalah sebuah keharusan. Oleh karena itu saya merasa lebih nyaman saat berandai-andai kawan saya, Abdullah Sanusi saja yang jadi rektor. Abdullah Sanusi adalah kawan dosen dari ekonom, biasa dipanggil Dul dan saat ini sedang bersekolah dengan giat untuk mencapai gelar doktornya di Australia.

Betapa kerennya saat ada rektor di Indonesia yang cukup dipanggil dengan "Dul". Di kalangan dosen muda UNHAS, bolehlah Boge' mewakili sosok dosen yang wajahnya paling sering muncul di media cetak dan elektronik, menjadi narasumber untuk banyak hal. Atau Gego, sosok dosen muda yang kita anggap paling tampan, pintar main gitar dan bersuara merdu. Juga kak Adnan Nasution yang ingin dicitrakan serupa imam mesjid  karena kini selalu menggunakan songkok haji, tapi bagi saya Dul punya tempat berbeda. Bagi saya dan dokter gigi Ardi Pawinru, Dul mewakili intelektualitas dan kearifan seorang dosen yang katanya sudah mulai tergerus di banyak Universitas. Jika di suatu komunitas ada orang yang kata-katanya adalah sabda, saya kira di komunitas dosen muda UNHAS, Dul adalah orangnya.

Tidak muluk-muluk sebenarnya yang saya inginkan saat bermimpi Dul yang jadi rektor UNHAS. Saya berharap seorang sosok rektor yang tidak jaim dan berjarak dengan orang-orang yang dipimpinnya. Tentu saja jika Dul yang rektor maka siapa pun boleh datang ke ruangannya untuk ngopi-ngopi dan berbincang tidak hanya tentang soal UNHAS dengan bebas tanpa perlu takut diomeli tapi juga seluruh hal ihwal yang lain. 

Ya karena kalau dia marah-marah atas protes dan komplain kita maka kita tak punya beban untuk marah balik sama besarnya agar pak rektor dul itu mau mendengar kita. Kita juga bisa bebas untuk singgah sekedar ngobrol tentang English Premier League, walau saya rasa pak rektor tidak akan banyak diakomodasi dalam perbincangan. Tim favoritnya, Birmingham City, kita tahu sebenarnya cuma selevel dengan Persiter Ternate. Tapi menarik bukan punya rektor yang bisa diajak ngopi dan nonton bola bareng seperti Dul.

Tentu saja kita merindukan sosok yang intelek dalam melihat segala persoalan, tidak hanya dari perspektif politis dan kepentingan semata. Kita butuh orang-orang yang berani mendobrak tradisi, seperti Dul rektor saya ini. Dia bercerita pada suatu ketika telah membuat merah kuping para seniornya karena berani memprotes tradisi sidang ujian dimana mahasiswa tidak mirip ujian tapi lebih mirip menengok orang sakit dengan begitu banyak tentengan kotak makanan dan kue yang dibawa untuk pengujinya. Ya dengan komentar yang kadang tajam dan sinis namun penuh kejujuran kualitas apa lagi yang tidak ada pada sosok kawan kita ini. Mudah-mudahan kita sepakat bahwa di UNHAS kita tidak butuh orang-orang, pemimpin yang antara kata dan perbuatannya ada jarak yang begitu jauh. Kita merindukan orang yang berani tampil apa adanya tidak selalu berlindung pada citra yang bagus dengan gerak-gerik serta tutur kata yang selalu diatur sedemikian manis.

Di momen dialog calon rektor UNHAS kemarin, saya merindukan Dul. Ada yang tidak sama tanpa ia berada di sekitaran kita, minimal tidak ada yang bisa kita paksa menutup acara dengan doa karena ternyata ustadz kita, kak Ridho, yang satu lagi sedang di Sudan. Tapi saya tahu kanda Dul sedang berjuang keras agar sekolah doktornya cepat selesai untuk kembali membangun UNHAS tercinta. Mudah-mudahan saat dia pulang, dia tidak berubah menjadi lebih tua dari umurnya. Maksud saya tua dalam artian seperti sebagian senior-senior tua lainnya yang saat pulang membawa gelar doktor, bukannya sibuk memberi sumbangsih nyata, melakukan penelitian yang bisa dipublikasi atau kegiatan produktif lainnya tapi malah sibuk berebut jabatan dan posisi. Tapi saya kira Dul tidak seperti itu, karena sampai sejauh ini jabatan imam mesjid di komplek perumahan dosen Moncongloe yang belum selesai dibangun itu adalah haknya yang tak bisa diganggu.

Saya tidak ingin lebih lama menyiksa Dul dengan coretan-coretan lepas ini. Kata salah seorang senior saya di fakultas tanda bahwa dua orang kawan telah benar-benar menjadi "kawan" itu adalah saat mereka sudah bisa saling mencalla, sekeras apa pun. Dan saya kira callaan saya tidak ada apa-apanya dibandingkan jika Ahmad Syamsuddin kawan reporter itu yang berkomentar. Mudah-mudahan dalam waktu tidak lama lagi kita bisa bersua kawan, saya kira saya, bapak, Gego, Boge,dan Ahmad masih punya utang ngopi di jalan tinumbu yang harus ditunaikan. Jadi sekarang slogannya adalah jangan mati dulu sebelum ngopi di warkop jalan tinumbu. Hihihihi. Dan yang terakhir maafkanlah coretan-coretan ini, anggap saja kejahilan orang yang paling muda di komunitas ini. Salama' ki'.