Latest News
joko hendarto universitas hasanuddin dokter malaria

Jangan Menua di Jepang

Pada suatu ketika, saat hendak membantu seorang kawan yang akan mengeposkan barang-barangnya ke Indonesia, saya kaget campur khawatir. Petugas pos yang datang adalah seorang ibu-ibu tua. Dia datang membawa mobil pos yang nampaknya khusus digunakan menjemput kiriman dari rumah-rumah para pelanggan.

Waduh, gimana cara beliau menimbang dan mengangkat kardus-kardusnya ya. Teman saya ini mengirim mungkin ada sekitar 6 kardus dengan berat berkisar 20-30 kg. Dia telah selesai dan akan segera pulang ke Indonesia. Saya saja, mengangkatnya dari lantai 2 sudah agak sedikit ngos-ngosan. Tapi anehnya beliau tidak mau dibantu awalnya saat mau nimbang, tapi saya bersikeras bahwa kardus-kardus itu berat dan akhirnya mau dibantu juga setelah sebelumnya minta-minta maaf. Mungkin karena menganggap telah menyusahkan customer.

Dan fenomena orang tua bekerja di Jepang, sungguh sangat umum. Apalagi dengan struktur demografi mereka yang lebih banyak orang tuanya ketimbang mereka yang berusia lebih muda. Kenapa begitu ya, kok anaknya tidak membantu mereka. Saya agak kaget juga saat tahu dari seorang teman bahwa katanya ada sedikit pergeseran dalam budaya Jepang tentang apa yang mereka anggap keluarga saat ini. Teman ini kebetulan mendalami bahasa Jepang sehingga sedikit banyak paham kultur mereka. Keluarga bagi sebagian orang Jepang adalah ayah, ibu dan anak. Beberapa orang tidak lagi memasukkan nenek atau kakek. Mereka dianggap orang lain. Demikian pula dengan cucu. Makanya, jarang sekali ada nenek yang momong cucu disini.

Usaha untuk kembali mengembalikan definisi keluarga seperti dulu bukannya tidak dilakukan, salah satunya lewat anime. Coba lihat di beberapa film kartun yang mengangkat realitas sosial orang Jepang atau mungkin terutama pada komik-komik dengan tema serupa itu. Disitu sebenarnya ada kakek dan nenek juga, bahkan tinggal dalam satu rumah, bahkan kadang mereka digambarkan sangat usil.

Kata teman saya diatas, setelah usia 20 tahun seorang anak bebas memutuskan hidupnya akan jadi seperti apa. Orang tua biasanya telah menyiapkan tabungan untuk itu. Aa Gym yang datang mengunjungi kami saat itu, saat mendengar cerita ini di mobil saat hendak pulang ke hotel menyahut, berarti disini kita punya anak cuma sampai usia 20 tahun ya. Setelahnya bisa serasa ndak punya anak. Saya kurang tahu seberapa sering mereka telpon-telponan atau mengunjungi orang tuanya. Lebih seramnya, ada yang orang tuanya menua sendirian padahal anak cucunya tinggal di kota yang sama.

Nah kembali ke cerita tentang orang tua diatas, bagaimana mereka survive. Ya, yang masih kuat dengan bekerja. Seperti jadi petugas pos diatas, ada beberapa yang jadi kasir di supermarket, jadi cleaning service, untungnya di Jepang ada banyak pekerjaan sambilan yang bisa dilakukan. Ada karakter dasar orang Jepang ini yang menarik. Mereka tidak ingin menyusahkan orang lain. Kalau bisa hidup dengan bekerja sendiri kenapa harus menyusahkan anak. Sama dengan seorang volunter wisata pensiunan pabrik bir yang saya temui di sebuah tempat wisata, ternyata anak-anaknya dua orang dokter. Satu dokter spesialis kulit, satunya lagi dokter peneliti di salah satu kampus ternama di Amerika.

Untuk mengusir kesepian gimana? Banyak diantara mereka yang memilih memelihara anjing. Dengan begitu mereka punya ritual jalan-jalan dengan anjingnya setiap hari, tak perduli cuaca serupa apa hari itu. Namun sekarang katanya banyak yang memilih kucing, lebih gampang dipelihara, tidak harus diajak jalan-jalan setiap hari. Coba ya kalau bisa momong cucu. Hehehe. Orang tua yang sama sekali tak mampu melakukan apa-apa, biasanya akan berakhir di panti jompo. Wah, ternyata ribet juga ya menua disini apalagi jika harus mengikuti budaya mereka. Beda tempat, beda kultur. Selalu ada sisi baik dan tidak dari sesuatu. Tapi saat saya tua, saya ingin memilih tetap terhubung dengan anak cucu saya.