Ada sebuah kebiasaan menarik orang jepang yang sangat suka saya perhatikan. Di sebuah salon dimana orang datang menata rambut atau sekedar mempermak diri supaya kelihatan lebih manis atau tampan. Beberapa kali saya lihat, saat pelanggan hendak pulang, penata riasnya telah bersiap berdiri di depan pintu, mengucapkan terima kasih dan salam. Tetap berdiri disana,membungkuk memberi hormat hingga pelanggannya pergi, dan baru kembali ke dalam saat pelanggannya tak kelihatan lagi.
Tadinya saya pikir cuma di salon ini saja, tapi ternyata tidak. Saat sebuah malam saya melintasi sebuah rumah makan, saat itu pelanggannya sudah selesai, keluar kearah parkiran, chef restoran itu sudah berdiri rapi di depan pintu, mengucapkan terima kasih, membungkuk pada pelanggannya meski pelanggannya tak lagi melihat ke arah sang chef. Dia tetap berdiri disana hingga si pelanggan itu pergi lalu kembali ke dapurnya.
Sebuah kebiasaan yang terus terang membuat saya bergidik. Betapa besar penghormatan mereka kepada orang lain. Serupa saat para dokter dan perawat mereka membungkuk menunjukkan penyesalannya di hadapan jenazah pasien yang tak mampu mereka tolong bahkan saat mereka telah berusaha sekuat tenaga atau memang keadaan pasien terlalu berat untuk diselamatkan.
Hal yang sama saya temukan pada suatu ketika di ruang istirahat di dekat lab saya. Saya cuma ingin rehat sejenak, iseng baca-baca berita dari HP. Tak penting sebenarnya. Lalu seorang petugas kebersihan datang minta-minta maaf. Dia ingin membersihkan ruangan itu. Dia khawatir mengganggu saya padahal dia membersihkan bagian yang berbeda, bukan bagian yang saya tempati. Dan setelah selesai dia mengucapkan terima kasih. Nah loh, jleb, rasanya gimana ya.
Terasa sekali ketulusan orang-orang ini. Mereka melakukannya karena itu hal yang baik dan perlu dilakukan. Memberi penghormatan yang layak dan pantas pada sesama, bahkan pada anak kecil. Tadinya saya pikir kadang orang jepang ini terlalu lebay, anak kecil bisa menulis huruf A saja sudah diberikan aplaus yang luar biasa, diberikan tepuk tangan. Tentu saja sang bocah senang luar biasa, dia seperti memperoleh trofi juara 1 atas keberhasilkannya menulis huruf A. Tapi ini mungkin cara mereka untuk mengajarkan respek sedari dini pada generasi mereka, mengajarkan penghargaan terhadap pencapaian-pencapaian yang orang lain peroleh.
Pengalaman-pengalaman keseharian ini kalau diingat-ingat kadang membuat saya malu. Betapa mungkin sebelum-sebelumnya saya kurang menghargai mahasiswa saya. Galak dan memberi mereka ekspektasi terlalu tinggi untuk dicapai. Gimana ceritanya satu minggu di IKM misalnya, lalu saya berharap mereka sudah harus paham segala rupa statistik untuk penelitian. Menurut saya itu dasar yang mereka harus pahami, tapi ternyata tidak bagi mereka, itu sama rumitnya dengan belajar neuroanatomi. Hahahaha. (Ini ketawa karena malu ya). Semoga kalau pulang bisa jadi orang baru ya.
Saya jadi ingat petuah seorang guru di UNHAS, Prof Atja Taha, kak Aca’. Pada suatu ketika dia bilang begini, sekolah dimanapun adalah soal melatih diri untuk punya perspektif berbeda. Kalau cara dan gaya berpikirmu yang buruk tidak berubah saat kau pulang sekolah, masih sama dengan sebelum kau berangkat, berarti tak ada yang kau pelajari, sebesar apa pun pengetahuan dan skill baru yang kau pelajari di sana.
Dan pesan itu mengingatkan saya lagi satu pengalaman yang pernah diceritakan oleh mantan dekan saya, guru dan kawan berbincang yang baik, Prof. Irawan Yusuf. Dia kebetulan alumni Jepang juga, dari Hiroshima. Maaf Prof jika kisahnya saya tulis. Hehehe. Dulu saat mahasiswa dan koas, katanya dia galaknya minta ampun sebagai asisten faal. Makian, intimidasi termasuk merobek-robek laporan praktikan karena kesalahan kecil adalah hal yang lumrah, tak peduli praktikan itu mengetik laporannya semalam suntuk sambil terkantuk-kantuk dengan mesin ketik yang mungkin sudah butut. Pokoknya hororlah saat dia ada, bahkan jika praktikan tak berbuat kesalahan sekalipun. Hal yang berlanjut saat beliau jadi dosen muda Faal.
Hingga dia mendapatkan kesempatan sekolah Ph.D ke Jepang. Ada yang berbeda katanya saat dia belajar di tempat ini. Dia mendapatkan perlakuan yang sangat baik dari orang-orang di sekitarnya. Sensei dan kawan se-labnya memberinya bantuan yang tulus tanpa memaki dan marah, bahkan untuk hal-hal sekecil apa pun. Saking kagumnya beliau atas penghormatan orang Jepang, di “animal house”, para peneliti sampai harus berdoa memberikan penghormatan pada arwah hewan coba yang mati karena eksprimen. Hewan-hewan itu telah berjasa memberi hidupnya untuk ilmu pengetahuan. Pada hewan yang telah mati saja mereka memberi penghormatan, apalagi pada yang hidup. Dan Prof, setelah dari Hiroshima, katanya dia berubah banyak. Mengapa harus mengajar, memperlakukan orang dengan kasar saat dengan memberikan penghormatan orang dengan tulus dan pantas mereka bisa belajar lebih baik.
Dan ini adalah beban berat namun juga kesempatan luar biasa untuk belajar sama baiknya dari lingkungan, orang-orang dan para senior yang luar biasa. Belajar ke tempat baru serupa mengisi cangkir teh kata seorang kawan yang lain. Kita baru bisa mengisi cangkir teh kita dengan teh yang baru jika isi cangkir yang lama telah dibuang sebelumnya. Mungkin serupa simbolisasi bahwa beberapa cara pandang kita yang buruk harus dibuang terlebih dahulu sebelum belajar hal yang baru, mungkin serupa belajar soal respek ini. 4 tahun masih panjang, segalanya akan jadi ruang belajar hari perharinya. Semoga tetap semangat melaluinya. Dan musim semi telah datang, saatnya siap-siap menikmati sakura yang akan mekar. Menikmati keindahannya dengan penuh penghormatan dengan tidak memetik bunganya, cukup foto-foto selfie di depannya saja. Hehehehe. #CeritaJepang
(Kanazawa, 210315)