Jumat lalu, saya terkesan dengan kutbah jumat di mesjid kecil kami di kota Kanazawa. Temanya, bagaimana bersikap sebagai seorang muslim di tempat asing sepertI Jepang ini. Bagian paling menarik bagi saya adalah saat sang penceramah, kalau tidak salah mahasiswa mesir dengan bahasa inggris yang fasih memulainya dengan perbincangan soal akhlak. Katanya, di negara bebas seperti Jepang label agama akan langsung terhubung dengan perilaku penganutnya, walaupun mereka sesungguhnya tidak terlalu peduli dengan agama. Orang-orang akan melakukan penilaian tidak dimulai dari soal-soal teologis tentang tauhid dan segala macamnya, tapi katanya, dari cara kita bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sosial. Sayangnya media telah membuat citra islam di luar sana sungguh sangat buruk karena terhubung langsung dengan beberapa isyu buruk seperti terorisme dan perlakuan buruk pada perempuan.
Lalu bagaimana bersikap dalam keadaan demikian. Dimulai dari akhlak kata beliau. Contoh kecil yang diangkat sang penceramah adalah soal menepati janji. Saya jadi pernah malu sekali soal satu ini pada satu kejadian di awal-awal kedatangan saya di Jepang. Singkat ceritanya seperti ini, di gedung dimana lab saya berada, saya punya kawan Jepang dan Rusia yang telah banyak sekali membantu urusan saya terutama yang terkait dengan dokumen berbahasa Jepang. Suatu malam kami kembali bersama ke lab di gedung yang sama setelah pulang dari sebuah acara makan di luar, sekitar jam 10 malam. Naik lift, saya berhenti di lantai 3 dan dia terus ke labnya di lantai 5. Sebelum berpisah, dia bertanya apakah kita akan pulang bersama, kalau iya, nanti kami tunggu di lantai 1 , cuma mau ngambil tas di lantai 5 sebentar. Saya pun mengiyakan.
Malangnya, sesampai di lab, sensei mengajak saya diskusi. Awalnya saya pikir diskusi itu sekedar ngobrol biasa 10 menit atau 15 menit tapi ternyata molor hingga 2 jam lebih dan saya pun tak sadar bahwa kami telah berdiskusi begitu lama. Dan yang membuat saya jadi terkejut dan malu luar biasa adalah kedua teman saya itu ternyata tetap menunggu di lantai 1, itu sudah tengah malam lewat. Padahal kalaupun kami pulang bersama sesampai di pintu keluar berjarak 5 meteran dari tempat mereka menunggu, toh kami akan berpisah. Kami tak searah, apato mereka belok kanan di depan rumah sakit universitas, sedangkan apato saya belok kiri naik sepeda sekitar 15 menit dari kampus.
Dari pengalaman itu saya mendapat satu pelajaran, hati-hati saat berjanji. Orang Jepang terkenal sangat menghormati janji. Walaupun mereka akhirnya bisa memaklumi saat saya bilang tadi tertahan sensei, tapi tetap malu sekali rasanya. "Kenapa kalian tidak pulang saja?", tanya saya. "Kan sudah janji". Hmmm, saya cuma mampu tertegun. Mereka mungkin tak pernah belajar sesuatu yang disebut "akhlak", tapi perilaku mereka sungguh sebuah contoh akhlak yang baik.
Ada satu contoh lagi yang menarik terkait hal diatas, pernah diceritakan oleh seorang kawan dari kampus lain, semacam institut teknologi di Kanazawa. Alkisah, kampus mereka melakukan tour untuk mahasiswa asing. Kampus pun mengumpulkan sejumlah iuran dari para peserta untuk membiayai tour tersebut. Sepulang dari acara tour, pihak kampus menghitung dari dana yang digunakan ternyata ada sisa saldo 10 yen. Mereka pun mencari tahu siapa kordinator peserta tour itu untuk mengembalikan sisa uang tersebut. Si kawan itu pun takjub, apa sih arti 10 sen. Benda termurah di jepang ada kisaran 80-100 yen. Tapi ternyata tidak, bagi mereka 10 yen itu adalah hak para peserta tour yang harus dikembalikan. Lalu setelah di email berulang-ulang, akhirnya kawan itu pun datang ke International Student office untuk mengambil sisa uang 10 yen itu. Mendengar kisah kawan tadi, saya cuma bisa geleng-geleng kepala, sampai segitunya ya. Hehehe.
Lalu apa hubungannya dengan tema ceramah diatas? Pesannya jelas, kata si khatib, jadilah representasi islam dengan menunjukkan bahwa kita bisa "berakhlak" sama baiknya atau lebih dari mereka. Saat sekali kita tidak menepati janji dengan mereka misalnya atau mungkin lalu berkali-kali, maka mereka akan berpikir, wah ternyata orang islam begitu ya. Termasuk soal menaati aturan dan regulasi yang ada. Jika sampai pada soal aturan, tak ada tawar menawar. Dan saya kira sepakat dengan penceramah diatas, kita berada di lingkungan baru harusnya bisa beradaptasi dengan tata aturan mereka, tidak seenaknya membawa kebiasaan dari negeri sendiri yang mungkin kurang bisa diterima di lingkungan baru ini.
Menarik ulasan penceramah diatas bagi saya, walaupun kadang tak mudah menjadi contoh di tempat dimana kebajikan-kebajikan sosial sudah menjadi perilaku otomatis suatu komunitas seperti di Jepang ini. Pesannya hampir mirip dengan ceramah berbeda dari seorang kawan Indonesia, ahli fisika beberapa jumat yang lampau bahwa selain melaksanakan kewajiban-kewajiban formal, islam juga harus ditunjukkan dengan kemampuan pemeluknya untuk menguasai sains dan teknologi seperti orang-orang Jepang itu. Mumpung kita disini, mari tunjukkan pada mereka bahwa semangat, kesungguhan dan ketelitian kita melakukan penelitian-penelitian itu sama baiknya dengan mereka. Dan ini tanggung jawab kita bersama untuk membuktikan tudingan bahwa islam tidak kompatibel dengan sains dan teknologi modern, sungguh salah besar.
Akhirnya coretan-coretan ini sekedar refleksi. Semoga kita bisa belajar dari setiap tempat baru yang kita datangi, juga berbagi hal-hal baik yang mungkin kita miliki. Dan cara terbaik adalah dengan mengajarkannya lewat sikap dan perilaku yang sama baiknya. Kata ahli komunikasi, orang hanya percaya 10-20 % apa yang kita katakan, selebihnya mereka akan percaya apa yang mereka lihat kita lakukan. Hehehehe. Mari terus sama-sama belajar. #KisahJepang
(Kanazawa, 552015, lab takaramachi, coretan lepas untuk mengusir sakit kepala)